Sinergisitasi diantara Subbidang Linguistik Diakronis Dalam Menjelaskan Sejarah Bahasa Dan Penuturnya.
Linguistik diakronis memiliki subbidang, yaitu dialektologi diakronis dan linguistik historis komparatif.
Kedua subbidang ini memiliki dua tugas utama yang sama yaitu melakukan penentuan kekerabatan dan pengelompokan isolek serta melakukan rekonstruksi bahasa purba yang menurunkan isolek-isolek yang berkerabat.
Apabila yang pertama melakukan penentuan kekerabatan, pengelompokan, serta perekonstruksian bahasa purbah dari isolek-isolek yang berstatus bahasa-bahasa yang berkerabat.
Ketiga tugas utama kedua subbidang inilah yang relevan dengan persoalan penjejakan sejarah bahasa dan penuturnya (Mahsun, 2010: 91).
Suatu hal yang sangat terkait dengan penjejakan sejarah bahasa termasuk penutur bahasa adalah masalah penentuan kekerabatan pengelompokan bahasa melalui penyusunan pohon kekerabatan bahasa.
Pohon kekerabatan bahasa atau sering disebut dengan stambaum adalah pohon silsilah bahasa yang dapat memperlihatkan pertalian historis antar satu bahasa dengan bahasa yang lain.
Bahasa-bahasa yang secara leksikostatistik memiliki tingkat kekerabatan yang tinggi atau yang memiliki ciri-ciri kesamaan linguistik (retensi atau inovasi bersama) yang bersifat eksklusif diletakkan pada satu cabang dalam satu fase historis tertentu.
Sebagai contoh, Nothofer (1975) memperlihatkan persentase kekerabatan yang tinggi dalam hubungan bahasa. Melayu dengan bahasa Madura, daripada hubungan kedua bahasa itu dengan masing-masing bahasa Jawa dan Sunda.
Itu sebabnya, Nothofermenempatkan bahasa Melayu dan Madura dalam satu cabang yang sama dari sebuah sebuah protobahasa (Protobahasa Melayu Javanik/PMJ), seperti terlihat pada pohon kekerabatan bahasa berikut.
Catatan: Sunda – Melayu 37%; Sunda – Madura 36%; Sunda – Jawa 33%; Melayu- Madura 48%; Melayu – Jawa 32%; Madura – Jawa 38%
Hal yang serupa, Mbete (1990), berdasarkan hasil perhitungan leksikostatistik dan inovasi bersama menempatkan bahasa Sasak dan Sumbawa dalam satu cabang yang lebih dekat hubungannya secara historis.
Jelasnya periksa pohon kekerabatan Protobahasa Bali-Sasak-Sumbawa yang disajikan di atas. Selanjutnya level di bawah bahasa, Mahsun (2006) mengusulkan kekerabatan dialek-dialek bahasa Sasak dan bahasa Sumbawa dalam diagram kekerabatan berikut ini.
1. Pohon Kekerabatan Bahasa Sasak
2. Pohon Kekerabatan Bahasa Sumbawa
Apabila kekerabatan pada level bahasa Sasak dan Sumbawa di atas dihubungkan dengan kekerabatan pada level Protobahasa Bali-Sasak-Sumbawa, maka diperoleh pohon kekerabatan bahasa yang sedikit lebih komplek berikut ini.
Patut ditambahkan bahwa pohon kekerabatan ini masih dapat diperluas dengan memasukkan bahasa-bahasa lainnya yang masuk dalam rumpun Austronesia.
Pohon kekerabatan di atas menggambarkan bahwa bahasa Sasak, Sumbawa, dan Bali pada fase historis tertentu merupakan bahasa-bahasa yang diturunkan satu bahasa induk yang sama, yaitu Proto bahasa bali-Sasak-Sumbawa (PBSS).
Protobahasa Bali-Sasak-Sumbawa ketika each ke dalam tiga bahasa yang berbeda tidak terjadi secara serentak, melainkan berlangsung secara bertahap.
Tahap pertama, PBSS pecah ke dalam dua simpai utama, yaitu simpai yang membentuk Proto bahasa Sasak-Sumbawa (PSS) dan simpai yang menunjukan adanya bahasa Bali.
Kemudian, pada fase historis berikutnya, bahasa purba PSS pecah menjadi bahasa Sasak dan bahasa Sumbawa.
Dalam perkembangan historis kemudian, bahasa Sasak dan bahasa Sumbawa pecah ke dalam masing-masing empat dialek. keempat dialek dari kedua bahasa itu ternyata tidak diturunkan secara serentak.
Dialek-dialek bahasa Sumbawa memiliki dua perkembangan historis, yaitu fase pecahnya bahasa Sumbawa purba (Pra-Sumbawa) ke dalam Pradialek Jereweh-Taliwang-Tongo (Pra-DJTTn) dan dialek Sumbawa Besar (DSB).
Baru pada fase historis keemudian, Pra-DJTTN pecah menjadi dialek Jereweh-Taliwang-Tongo.
Berbeda halnya yang terjad pada bahasa Sasak. Bahasa Sasak purba (Pra-Sasak) tidaklah pecah ke dalam empat dialeknya secara sekaligus, melainkan dalam tiga fase historis utama.
Pertama Pra-Sasak pecah ke dalam dialek a-a dank e dalam Pradialek a-o(-e). Setelah itu, pada fase historis kedua, Pradialek a-o(-e) pecah menjadi dialek a-o Padialek a(-e-a).
Selanjutnya dalam fase historis ketiga Pradialek a_e-e) pecah menjadi dialek a-e dan e-e.
Apa yang menarik dari pohon kekerabatan itu ialah bahwa varian bahasa dalam bahasa baik itu bersifat antar dialek maupun antar bahasa yang berkerabat memperlihatkan dinamika yang berbeda.
Ada yang konservatif dan ada yang inovatif. Persoalannya, apakah kekerabatan atau pengelompokan yang tercermin dalam bahasa-bahasa atau dialek-dialek yang berkerabat memperlihatkan pertalian yang sepadan dengan kekerabatan atau pengelompokan secara genetis.
Dengan kata lain, apakah ada kesamaan, setidak-tidaknya kemiripan, antara relasi kekerabatan populasi manusia yang tercermin dalam pohon kekerabatan bahasa dengan yang tercermin dalam pohon filgenetik.
Inilah yang menjadi sala satu fokus utama bagi kerja kolaborasi linguistik-genetika (genolinguistik).
Referensi
Mahsun. (2010). Genolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.