Sudah kita ketahui bersama bahwa dalam perkembangan sejarah linguistik pada bidang semantik agak ditelantarkan atau bisa disebut kurang mendapatkan perhatian lebih. Hal ini bukan berarti tidak ada kegiatan sama sekali mengenai semantik itu dalam studi bahasa. Chaer (2013: 13) mengutip pendapat dari Aristoteles (384-322 SM) yang merupakan seorang sarjana dari bangsa Yunani sudah menggunakan istilah makna, yaitu ketika dia mendefinisikan mengenai kata, menurut Aristoteles kata adalah satuan terkecil yang yang mengandung makna.
Sarjana Yunani muda lainnya, yaitu Plato (429-347 SM), yang juga menjadi guru aristoteles. dalam Cratylus juga menyatakan bahwa bunyi-bunyi bahasa secara implicit juga mengandung makna-makna tertentu. Sayangnya, pada masa itu studi bahasa atas tataran bunyi, tataran gramatika, dan tataran makna belum ada. Studi bahasa masih lebih banyak berkaitan atau berhubungan dengan studi filsafat.
Pada masa itu memang ada perbedaan pendapat antara Plato dan Aristoteles. Plato percaya adanya hubungan berarti antara kata (bunyi-bunyi bahasa) yang kita pakai dengan barang-barang yang dinamainya. Sedangkan Aristoteles berpendapat bahwa hubungan antara bentuk dan arti kata adalah soal perjanjian di antara pemakai bahasa (Chaer, 2013: 14) di dalam Moulton, 1976: 3). Pendapat Aristoteles inilah yang hingga sekarang kita anut.
Dalam perkembangan berikutnta pada tahun 1825 C. Chr. Reising, seorang sarjana Jerman yang dikutip oleh Chaer (2013: 14), mengemukakan konsep mengenai Gramatika. Dia mengatakan gramatika itu terdiri dari tiga unsur utama, yaitu:
- semasiolog, studi tentang tanda;
- sintaksis, studi tentang susunan kalimat, dan;
- etimologi, studi tentang asal usul kata, perubahan bentuk kata, dan perubahan makna.
Pada masa itu, meskipun studi tentang semantic (makna)telah ada atau telah dilakukan tetapi istilah semantik itu sendiri belum digunakan.
Berikutnya menjelang abad ke XIX Michel Breal seorang sarjana Prancis dalam karangannya Essai de Semantique telah dengan jelas menggunakan istilah semantic dan menyebutkan bahwa semantic merupakan suatu bdang ilmu yang baru. Namun, dia juga masih semantic sebagai ilmu yang “murni-historis). Artinya studi semantic pada waktu itu lebih banyak berkaitan dengan unsur di luar bahasa itu sendiri, seperti bentuk perubahan makna, latar belakang perubahan, hubungan perubahan dengan logika, psikologi, dan bidang ilmu lainnya.
Ferdinand de Saussure, yang sering disebut-sebut sebagai bapak linguistic modern, dalam bukunya Cours de Linguistique Generale (1916), yang berpendapat bahwa studi linguistic harus difokuskan pada keberadaan bahasa itu pada waktu tertentu. Maka pendekatannya harus sinkronis dan studinya harus deskriptif.
De Saussure juga mengajukan konsep signé (Inggris: sign, Indonesia: tanda) untuk menunjukan gabungan signifié (Inggris: signified) ata “yang dijelaskan” dan signifiant (Inggris: signifier) atau “yang menjelaskan”.
Pada masa hidupnya de Saussure perna juga meramalkan akan lahirnya ilmu baru yang disebutnya sisimiologi; yaitu ilmu yang mempelajari tanda-tanda yang ada dalam masyarakat manusia. Dan linguistic hanyalah salah satu bagian dari ilmu umum yang disebut semiologi, itu karena linguistic hanya mempelajari tanda-tanda bahasa atau signélinguistique itu. namun,aturan-aturan yang berlaku dalam semilogi itu akan berlaku pula dalam linguistik. Ramalan de Saussure tentang semiologi atau semiotik kini sudah menjadi kenyataan.
Edwar Sapir dalam bukunya Language Introduction to the Study of Speech (1921) walaupun tidak perna menyebut nyebut isilah arti atau semantik, tetapi dia juga membicarakan tentang konsep atau ide. Dia menyatakan bahwa kata mewakili suatu konsep yang saling berhubungan sedemikian rupa dan membentuk kesatuan psikologis. dia juga membicarakan konsep gramatikal, yaitu konsep yang diunjukan dengan hadirnya imbuhan, kata tugas, dan susunan kata.
Leonard Bloofield bukunya Language (1933) menjelaskan bahwa kita dapat mendefinisikan arti kata secara tepat apabila arti tersebut berhubungan dengan hal-hal yang kita ketahui secara almiah, tetapi kita tidak dapat mendefinisikan arti kata-kata seperti cinta dan benci, malah sering kita menjumpai arti kata di dalam bahasa tidak cocok dengan penggolongan ilmiah. Misalnya ikan paus dan lumba-lumba yang secara ilmiah termasuk golongan mamalia tetapi di dalam bidang bahasa di sebut iikan. Disinilah letaknya kelemahan pelajaran bahasaa: arti lebih sering didefinisikan seberapa dapat saja.
Charles Hocket dalam bukunya A Course in Modern Linguistic (1959) menerangkan bahwa bahasa adalah suatu sistem yang kompleks dari kebiasaan-kebiasaan. Sistem bahasa ini terdiri dari lima substansi, yaitu; (1) substansi gramatika, yaitu persedian morfem dan pembentukannya;( 2) substansi fonologi, yaitu persediaan fonem dan pembentukannya; (3) morfofonemik, yaitu cara-cara yang berhubungan dengan gramatika dan substansi fonologi; 94) substansi semantic, yaitu menghubungkan macam-macam morfem dengan morfem, dengan situasi dan benda; 95) substansi fonetik, yaitu cara-cara deratan fonem di ubah menjadi gelombang-gelombang bunyi oleh artikulasi seorang pembicara dan bagaimana bunyi itu didekode dari lambang bunyi oleh seorang pendengar.
Gleason dalam bukunya An Intoduction to descriptive Linguistics (1955) menjelaskan bahwa bahasa terdiri dari dua komponen yang sangat erat hubungaanya dan saling mempengaruhi.Kedua komponen ini itu adalah expression atau bentuk dan content atau arti. Konsep Gleason mirip dengan konsep signifiant dan signifie dari de Saussure; sama-sama mengenai arti dan bentuk bahasa.
Kenneth Pike dalam bukunya Language in Relation to a Unified Theory of the Structure of Human Behavior (19540 tidak membicarakan tentang arti secara khusus, tetapi beliau menyebutkan adanya etik dan emik. Etik adalah satuan-satuan bunyi bahasa yang tidak mengandung arti, sedangkan emik adalah satuan-satuan bunyi yang mengandung arti. Istilah etik dan emik juga digunakan dalam bidang studi antropologi dengan maksud yang hampir sama.
Hayakawa seorang sarjana kebahasaan Jepang-Amerika dalam bukunya Symbol, Status, and Personality (1953) menyatakan bahwa untuk menemukan arti sebuah kata bukanlah dengan membuka kamus sebab arti atau definisi di dalam kamus sifatnya sirkumlokasi. Yang benar adalah kita harus mengamati bagaimana kata itu dipergunakan diberbagai teks.
Toko tata bahasa transformasi, Noam Chomsky, dalam bukunya Syntactic Structure (1957) tidak menyinggung-nyinggung asalah semantic. Tetapi dalam bukunya Aspect of the theory of Syntax (1965) dia menyebutkan bahwa semantic merupakan sala satu komponen dari tata bahasa (Dua komponen lain adalah sintaksis dan fonolog); Chomsky menggunakan teknik analisis cirri pembeda (distinctice-features) dari Roman Jakobson dan Morris Halle (linguis aliran Praha) untuk membedakan cirri-ciri lexical item dalam daftar lieksikonnya.
Jerrold Katz dan Jerry Fodor, dua linguis yang banyak menerima pengaruh dari Jacobson, hale, dan Chomsky, dalam bukunya The Structure of Semantic Theory (1968) mencoba membentuk sifat dasar dari komponen semantic model Chomsky.
Menjelang akhir tahun 60-an sejumlah linguis bekas murid dan pengikut Chomsky mendirikan aliran tersendiri yang terkenal dengan nama kaum semantik generatif. Mereka, antara lain George Lakoff, John Robert Ross, Mc cawtey, dan Kiparsky, dan kaidah fonologi seperti yang diajarkan Chomsky. Semantik dan sintaksis sudah seharusnya diselidiki bersama-sama sekaligus karena keduanya adalah satu.
Stuktur semantik itu serupa dengan struktur logika, berupa ikatan tidak berkala antara predikat (pre-) dengan seperangkat argument (arg) dalam suatu preposisi (pro-). Struktur itu tergambar sebagai berikut.
Argumen itu adalah segala sesuatu yang dibicarakan sedangkan predikat menghubungkan atau menunjukan hubungan semuanya. Misalnya kalimat “Nenek minom kopi”. Strukturnya adalah:
Jadi, kalimat tersebut mempunyai predikat yang beragumen dua: MINUM (nenek, kopi). Kalimat “nenek minum kopi” adalah kalimat yang preposisinya mempunyai predikat beragumen satu. Sedang kalimat “nenek membelikan adik baju baru” adalah kalimat yang preposisinya mempunyai predikat yang berargumen tiga.
Dari uraian di atas dapatlah dikatakan bahwa dalam menganalisis makna kalimat, teori generative semantic berusaha mengabstraksikan predikatnya dan menentukan argument –argumennya.
Mc Cawley dalam The Role of SemanticsGrammar mengingatkan suatu bahasa tidak dapat dianalisis secara cermat kalau analisis itu dilakukan terhadap kalimat-kalimat terpisah.
Charles j. Fillmore, yang dikenal sebagai took tata bahasa kasus, dalam karangannya “case for Case” (1968) membagi kalimat atas modalitas dan preposisi. modalitas berkenaan dengan negasi, kala, aspek, dan adverbial; sedangkan proposisi berwujud sebuah verba disertai dengan sejumlah kasus.
Yang dimaksud dengan kasus (case) dalam teori ini adalah hubungan antara verba dengan nomina dalam struktur semantik. kalau dibandingkan teori generative semantic maka verba di sini sama dengan predikat dan nomina sama dengan argument. Hanya argumen di sini diberi nama kasus.
Dalam versi 1968 Fillmore membatasi jumlah kasus itu, tetapi dalam versi 1971 dibatasi hanya menjadi pelaku (agent), pengalami (experience), tujuan (object), alat (means), keadaan/tempat/waktu yang sudah (source), keadaan/tempat/waktu yang aan dating (goal), dan maujud yang dihubungkan oleh predikat (referential).
teori kasus dan teori generative semantic yang telah dibicarakan di atas dikembangkan oleh Wallace L. chafe dalam bukunya Meaning and the Structure of Language ((1970) yang menyatakan bahwa dalam analisis bahasa komponen semantiklah yang merupakan pusat. Chafe mengemukakan dilihat dari cirri-ciri semantiknya, ada lima tipe utama KK (kata kerja) dasar (1-50 dan empat tipa KK dasar tambahasan (no. 6-9), dalam Chaer (2013: 22), yaitu
- KK keadaan
- KK proses
- KK aksi
- KK aksi-proses
- KK ambient, yaitu KK yang berhubungan dengan cuaca
- KK pengalaman
- KK benefaktif
- KK pelengkap
- KK lokatif.
Chafe tidak menggunakan istilah kasus untuk menyatakan relasi semantik antara KK dan Kb dala suatu struktur semantik.
Studi bahasa sampai masa transformasi awal Chomsky tidak perna lebih dari pembicaraan kalimat. Tetapi setelah tahun 1965 banyak ahli menyadari bahwa banyak unsur dalam struktur dalam kalimat ditentukan oleh faktor-faktor di luar bahasa seperti faktor hubungan antara pembicara dan pendengar, faktor waktu dan tempat.
Dewasa ini semantik dengan menggunakan wacana sebagai objek studinya sedang giat-giat dilakukan orang terhadap berbagai bahasa, termasuk juga bahasa Indonesia.
Referensi
Chaer, Abdul. (2013). Pengantar semantik bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Renika Cipta.