Sastrawan angkatan 45 bisa dikatakan sebagai era kemajuan sastra puisi karena banyak lahir para penyair yang memiliki karya luar biasa. Salah satu puisi angkatan 45 yang selalu menjadi bacaan wajib disetiap acara adalah puisi-puisi karya Chairil Anwar dan menjadi acuan bagi para penyair.
Setelah Jepang datang ke bumi Indonesia sekitar tahun 1942 membuat penerbit Balai Pustaka dan majalah Pujangga Baru dibekukan. Hal ini karena Jepang sangat membenci budaya barat dan melarang segala bentuk penggunaan budaya yang berasal dari barat seperti bahasa dan lainnya.
Namun ternyata pihak Jepang masih mau kompromi dengan para penyair dengan mengambil alih penerbit Balai Pustaka menjadi Panji Pustaka. Pada tahun 1943. Jepang membuat kantor pusat kebudayaan atau Keimin Bunka Shidoso dan memperbolehkan para penulis untuk tetap berkarya.
Jepang menuntut para penyair untuk berkarya dan berkiblat pada budaya timur dengan karya sastra yang memiliki tema tentang cinta tanah air. Selain itu karya sastra haruslah berisi sajak untuk meningkatkan semangat patriotisme dan menjadi manusia yang kuat dalam bekerja keras.
Hal ini membuat perbedaan pendapat serta sudut pandang yang bertentangan dari para sastrawan. Ada sastrawan yang ikut pada pemerintah Jepang dan ada pula yang menolaknya. Hal ini tentu saja terjadi kesenjangan diantara para sastrawan sehingga para penulis akhirnya bercerai berai.
Sastrawan yang tidak setuju dengan jepang berpendapat bahwa lepas dari penjajah Belanda dan ikut jepang serta muncul peribahasa lepas dari mulut buaya masuk ke mulut harimau. Tentu saja banyak para penyair yang menentang kekuasaan Jepang di bumi pertiwi ini dan menolaknya.
Para penyair yang menolak dengan Jepang dan membuat ikrar dalam ‘’Surat Kepercayaan Gelanggang’’ yang berisi pernyataan bahwa para pemuda adalah pewaris karya sastra dan ingin melanjutkan budaya sastra menurut caranya sendiri dan ingin melahirkan dunia sastra yang baru.
Mereka juga menamakan diri sebagai sastrawan angkatan 45 dengan landasan humanisme universal yang merupakan gerakan pembaharuan dalam bidang sastra. Tujuannya adalah dengan meninggalkan tradisi lama yang berkiblat dari budaya penjajah dan ingin menjadi diri sendiri.
Sastrawan angkatan 45 berani tampil percaya diri dan bebas dalam menulis puisi tanpa terikat dengan aturan puisi lama. Mereka berani mendobrak tradisi lama yang sudah menjadi aturan dalam sastra sebelumnya. Gaya puisi lebih realistis, naturalis dan meninggalkan romantisme.
Karya sastra angkatan 45 berkembang pesat dan bentuk puisi lebih kritis, banyak juga para pelukis, penulis esai, musik, drama dan bentuk tarian.
Majalah yang menjadi wadah dalam penerbitan sastra angkatan 45 antara lain :
Panca Raya (1945-1947)
Pembaharuan (1946-1947)
Nusantara (1946-1947)
Pembangunan (1946-1947)
Gema Suasana (1948-1950)
Siasat (1947-1959)
Mimbar Indonesia (1947-1959)
Indonesia (1949-1960)
Konfrontasi (1954)
Arena (1946-1948)
Seniman (1947-1948)
Para sastrawan angkatan 45
Asrul Sani
Rivai Apin
Idrus
Pramoedya Ananta Toer
Mochtar Lubis
Sastrawan angkatan 45 yang tersohor dalam bidang puisi adalah Chairil Anwar, dengan karyanya “Kerikil Tajam’’. Sedangkan dalam bidang prosa adalah Idrus. Karya Idrus yang terkenal adalah ‘’Corat Coret Di Bawah Tanah’’. Penulisan essai sastrawan yang terkenal adalah H.B Jassin.