Musik dan puisi adalah sebuah karya sastra yang berbeda, namun keduanya bisa dipadukan bersama untuk ditampilkan menjadi musik puisi. Pada awalnya musik hanya digunakan sebagai tambahan pengiring nada saja ketika para penyair sedang membacakan puisi karya-karyanya.
Namun semakin lama akhirnya puisi bisa dibawakan sebagai lagu yang diiringi dengan alunan musik dari awal sampai akhir. Setelah puisi menjadi lagu yang diiringi musik, maka keduanya ternyata bisa menyatu dengan sempurna jika alunan musik dan puisi berjalan dengan harmonis.
Mengenai asal usul musik puisi di negara kita memang masih tanda tanya, namun pada era relief Borobudur sekitar abad ke 8 M sudah terdapat gambar beberapa alat musik. Gambar instrumen tersebut diantaranya kendang, suling bambu, kecapi, dawai gesek atau petik serta lonceng.
Hal tersebut membuktikan bahwa bangsa Indonesia telah mengenal alat musik dan tentunya lagu yang disenandungkan berupa kata-kata indah seperti puisi. Apalagi di masa lalu, musik hanya di presentasikan pada acara-acara penting seperti upacara adat, perkawinan, kerajaan dan lainnya.
Kemudian diperkuat lagi pada era kerajaan Demak sekitar abad ke 15 yaitu syair Sunan Kalijaga yang dilagukan dengan alunan gending. Syair-syair Sunan Kalijaga diantaranya adalah Ilir-ilir, Gundul pacul yang dibacakan dengan alunan musik gending atau bonang yang berupa tembang.
Selanjutnya budaya tembang dan musik yang dinyanyikan para sinden bisa dilestarikan ketika digelar pertunjukan wayang. Semua bait-bait yang dinyanyikan para sinden berupa syair-syair indah yang berisi kata-kata tentang puji-pujian dan juga mantra yang mengandung daya mistis.
Budaya musik dan sinden yang melengkapi pertunjukan wayang tetap bertahan selama ratusan tahun dan bisa lestari sampai sekarang. Hal ini membuktikan bahwa musikalisasi puisi bukanlah hal yang baru bagi bangsa Indonesia khususnya dipulau Jawa sebagai penduduk terbanyak.
Pada tahun 40-an, musikalisasi puisi modern mulai berkembang ditengah masa penjajahan Belanda. Kala itu seorang pengubah lagu Cornel Simanjuntak mencoba memasukkan puisi-puisi karya Sanusi Pane kedalam musikalisasi puisi dan menghasilkan beberapa karya musik seriosa.
Perkembangan selanjutnya terjadi pada tahun 60-an, ketika pemusik yang bernama FX Soetopo mencoba puisi karya penyair Kirdjomulyo dan melantunkannya kedalam musik puisi. Dari kolaborasi tersebut memang bisa menghasilkan puisi dan lagu indah, namun kurang populer.
Pada masa yang sama di kota Yogyakarta juga sedang ramai-ramainya para penyair Malioboro membacakan puisi yang disertai musik. Puisi karya Umbu Landu Paranggi dibacakan dengan musik oleh anak-anak didiknya, diantaranya Emha Ainun Najib, Ebiet G Ade dan lainnya.
Selanjutnya Emha Ainun Najib atau Cak Nun sering menggelar musik puisi di beberapa daerah di Yoyakarta dan sekitarnya bersama pagelaran teater. Pagelaran musik puisi Cak Nun semakin berkembang ke kota-kota lainnya diantarnya adalah kota Malang, Surabaya dan Makassar.
Sedangkan Ebiet G Ade memulai solo karier menjadi penyair yang melantunkan puisi dengan alat musik yang bertema tentang religi dan alam. Musikalisasi puisi yang dibawakan Ebiet menuai sukses dan mendapatkan tempat di hati penikmat musik dan sastra di Indonesia.
Pada era selanjutnya sekitar tahun 70-an, penyair Taufik Ismail menjalin kerjasama dengan kelompok musik Bimbo untuk melantunkan lagu religi dan rohani. Musik puisi paling terkenal yang dinyanyikan kelompok musik Bimbo yaitu berjudul “Ada anak bertanya pada bapaknya”.
Referensi
wicaksonoaldi.wordpress.com/tugas-tugas/data-data-bahasa-indonesia/musikalisasi-puisi