Pada mulanya, Pujangga Baru adalah sebuah nama majalah sastra yang diterbitkan para penulis yang ingin bebas untuk menulis tentang kehidupan nyata di Indonesia. Hal ini karena tulisan yang dimuat penerbit Balai Pustaka dibatasi dan ada unsur mendiskreditkan rakyat Indonesia.
Para pelopor majalah pujangga baru antara lain Sutan Takdir Alisyahbana dan Amrijn Pane pada tahun 1933 dengan mengobarkan semangat kebangsaan dan budaya. Angkatan pujangga baru dengan puisi genre modern dan penempatan baris dan bait bebas tanpa terikat aturan puisi lama.
Setelah adanya majalah pujangga baru, maka semakin banyak para penyair mulai bermunculan dan mengirimkan tulisannya agar bisa diterbitkan di majalah tersebut. Selain itu mulai tumbuh kesadaran dalam masyarakat untuk bersikap nasionalisme dan bersatu padu memerangi penjajah.
Dengan banyaknya para sastrawan baru yang muncul membuat pengasuh majalah pujangga baru kewalahan dan membagi sastrawan 2 kelompok. Kelompok pertama bernama ‘’Seni Untuk Seni’’ diasuh oleh Sanusi Pane dan Amir Hamzah dan menjadi wadah bagi seniman Indonesia.
Sedangkan kelompok kedua bernama ‘’Seni Untuk Pembangunan Masyarakat’’ yang diasuh oleh Sutan Takdir Alisyahbana, Amrijn Pane dan Rustam Effendi. Majalah Pujangga Baru bisa dikatakan sebagai induk berkembangnya sastra masa penjajahan dan mengobarkan kemerdekaan.
Dari pujangga baru terbit buku pengetahuan tentang sejarah asli bangsa Indonesia seperti penyair zaman kerajaan mataram kuno dan sejarah kerajaan lainnya. Ada juga buku sejarah R.A Kartini dan menerjemahkan surat-surat Kartini yang dikirim kepada teman-temannya diluar negeri.
Pujangga baru menjadi pelopor berkembangnya karya tulisan yang singkat seperti puisi, cerpen, esai dan karya seni yang tidak tergantung pada buku. Tema tulisan juga bebas dan tidak memiliki batasan namun menggunakan bahasa penulisan yang berkualitas dan mudah dipahami pembaca.
Pada tahun 1942 ketika Jepang menguasai negeri ini, pujangga baru dilarang terbit. Jepang menguasai semua media massa seperti koran, radio dan kantor pos sehingga semakin mempersempit gerak dari penyair. Hal ini membuat koran dan majalah bisa terbit secara rahasia.
Walaupun dilarang terbit, namun para sastrawan tetap berusaha untuk produktif dan menerbitkan tulisan agar bisa dibaca rakyat. Hal ini kemudian muncul para sastrawan angkatan 45 yang tetap berjuang untuk membuat tulisan meskipun pemerintah Jepang yang ketat melakukan operasi.
Kita patut berterima kasih kepada para pelopor majalah pujangga baru. Karena mereka telah menggunakan bahasa Indonesia di media massa untuk melaksanakan amanat sumpah pemuda 1928. Hal ini membuat rakyat pribumi makin akrab dengan bahasa persatuan tanah air sendiri.
Pujangga baru juga mempelopori terbentuknya drama dan teater yang bisa berkembang sampai saat ini. Yang lebih penting lagi adalah tulisan esai yang mengedepankan sebuah tulisan yang berisi pikiran, saran dan sudut pandang dari penulis sehingga mendorong pembaca untuk kreatif.
Resensi :
duniasastra.net/2015/12/angkatan-pujangga-baru-dan.html