pixabay.com/id/users/ri_ya-12911237/ |
Banyak sekali karya sastra yang mengambil tema dari permasalahan yang dihadapi masyarakat atau rakyat Indonesia. Seperti yang kita tahu bahwa pada zaman penjajahan, banyak sekali karya sastra yang terinspirasi dari perlakuan ketidakadilan kolonial Belanda terhadap rakyat Indonesia.
Hal ini bisa berarti bahwa karya sastra bisa dikatakan sebagai potret dari permasalahan yang dialami masyarakat pada umumnya. Banyak juga karya sastra yang ditujukan sebagai kritikan kepada seseorang atau pihak lain, saran, ketidak setujuan keputusan pemerintah dan lainnya.
Dari sini kita bisa menarik garis bahwa untuk mengetahui keadaan masyarakat pada sebuah Negara, bisa dilihat dari karya-karya sastranya. Tentu saja para sastrawan lebih mudah untuk mengambil tema dari keadaan yang dialami masyarakat atau permasalahan dalam sebuah negara.
Jika kita menengok pada angkatan balai pustaka tahun 1920-1933, kita bisa melihat karya-karya sastra yang banyak dipengaruhi budaya barat. Hal ini karena balai pustaka memang dikelola oleh pemerintah Belanda sehingga lebih cenderung untuk menampilkan sastra tentang budaya barat.
Tentu saja balai pustaka akan menerbitkan karya sastra yang sepaham dengan pemikiran pemerintah kolonial Belanda saja. Banyak sekali karya sastra yang mengangkat tentang tema permasalahan adat dan budaya seperti novel Siti Nurbaya dan Sengsara Membawa Nikmat.
Kedua novel tersebut memberikan pesan moral bahwa kemiskinan adalah lambang dari kesengsaraan dan ketidaknyamanan dalam hidup. Dalam novel Sengsara Membawa Nikmat menceritakan bahwa hanya pihak Belanda yang bisa menolong tokoh Midun dari kemiskinan.
Hal ini bisa dikatakan bahwa jika tidak ada kisah tentang kebaikan penjajah Belanda, mungkin novel tersebut belum tentu bisa diterbitkan Balai Pustaka. Setidaknya dari satu novel ini bisa merubah pandangan pembaca tentang sisi negatif dari penjajah Belanda menjadi positif.
Selanjutnya pada angkatan pujangga baru yaitu pada awal kemerdekaan Indonesia, banyak sastrawan yang melakukan kritik pedas kepada pemerintah orde lama. Muncul nama-nama sastrawan dengan tulisan pedasnya seperti Mochtar Lubis dan Chairil Anwar serta lainnya.
Sastrawan pujangga baru ingin lepas dari kekangan balai pustaka dan menginginkan karya sastra yang lebih bebas tanpa aturan resmi. Sastrawan pada masa itu tidak takut dengan pemerintah orde lama dan ingin kebebasan dalam menuliskan karya sastra yang lebih independen.
Mochtar Lubis dikenal sebagai sastrawan yang pemberani dengan karya sastranya yang banyak mengandung paham yang berseberangan dengan pemerintah. Pada akhirnya pemerintah orde lama tidak kuat juga dengan sastrawan yang satu ini dan menjebloskannya ke dalam penjara.
Sastrawan lainnya yang terkena sabetan pemerintah orde lama adalah Taufik Ismail. Dia dicopot dari pegawai negeri karena dituduh telah menentang negara dengan menandatangani manifest kebudayaan. Saat itu dia masih bekerja di universitas Pertanian Bogor sebagai asisten dosen.
Hal ini memang tidak mengakibatkan Taufik sampai masuk ke dalam penjara, namun dia akhirnya harus rela kehilangan pekerjaannya. Puisi Taufik Ismail memang tajam, sehingga siapa saja yang membacanya perlu memiliki tafsir sastra yang bagus agar bisa menerjemahkannya.
Referensi : sihombing92.blogspot.co.id/2012/05/artikel-sastra-indonesia.html