Emha Ainun Najib adalah salah satu sastrawan kelahiran desa Menturo, Jombang, Jawa Timur yang lahir pada tanggal 27 Mei 1953. Dia dibesarkan dikalangan keluarga santri anak keempat dari 15 bersaudara. Ayahnya bernama Muhammad Abdul Latief dan ibunya bernama Halimah.
Masa kecil Emha dilalui sebagai penggembala kambing di desanya sehabis pulang sekolah. Walaupun ayahnya mendirikan sekolah Madrasah, namun Emha kecil tidak sekolah di madrasah tersebut. Dia lebih suka belajar pada Sekolah Dasar di desa tetangga yang jauh dari rumahnya.
Setelah tamat SD, dia melanjutkan pendidikannya di pondok pesantren Gontor. Selama belajar di pesantren, dia tidak tinggal di asrama seperti santri lainnya, namun tinggal dirumah teman ayahnya. Hal ini membuat hatinya tidak nyaman dan memutuskan untuk hidup menggelandang.
Dia seorang pribadi yang sangat kritis dan menyukai kebebasan sehingga tidak pernah ragu untuk mengkritik para ustadz yang mengajar. Keberaniannya dalam beradu argumen dengan para ustadz membuat dirinya diusir dari pondok pesantren dan akhirnya pergi ke kota Jogjakarta.
Di kota gudeg tersebut, dia melanjutkan sekolahnya di SMA Muhammadiyah I pada tahun 1969. Di sekolah tersebut dia bertemu Busyro Muqoddas dan menjadi sahabatnya. Bersama Busyro, dia aktif dalam kegiatan OSIS dan menjabat sebagai ketua, sementara Busyro jadi sekretarisnya.
Selama menempuh sekolah SMA, dia mulai aktif menulis puisi dan esai untuk majalah dinding, bahkan tulisannya sudah banyak yang diterbitkan dalam koran lokal. Dengan aktif menjadi penulis, dia bisa bertemu dengan banyak penulis lain yang sering berkumpul di jalan Malioboro.
Setamat dari SMA, dia melanjutkan jenjang pendidikannya di universitas UGM dan mengambil jurusan Ekonomi. Ternyata kuliah di UGM tidak membuatnya merasa nyaman, akhirnya dia memutuskan untuk keluar setelah menempuh masa 4 bulan atau setara dengan satu semester.
Dia lebih banyak menghabiskan hari-harinya di kawasan Malioboro dan hidup menggelandang bersama para penulis lain. Akhirnya dia bergabung dengan komunitas penulis muda Persada Studi Klub yang diasuh guru para sastrawan yaitu Umbu Landu Paranggi sekitar tahun 70-an.
Dia banyak menimba ilmu dari sang guru dan banyak yang mengatakan bahwa Emha adalah anak kesayangan sang guru. Hal ini karena dia banyak menghabiskan hari-harinya bersama Umbu untuk berkelana dimalam hari serta sudah biasa tidur diemperan toko-toko Malioboro.
Sosok Umbu Landu Paranggi selalu menganggap semua anggota komunitas tersebut sebagai anak asuh agar bisa lebih akrab dalam memberikan ilmu. Banyak sastrawan yang berguru pada Umbu seperti Ebiet G Ade, EH Kertanegara, Eko Tunas yang semuanya jadi sahabat baik Emha.
Selama hidup menggelandang di Malioboro, Emha semakin produktif dalam menulis puisi, esai, cerpen yang banyak diterbitkan di media massa terutama harian Kompas dan majalah Tempo. Dari sinilah namanya mulai dikenal banyak masyarakat terutama dikalangan para penulis.
Dia banyak menelurkan karya puisi yang selalu disukai para pembaca diantaranya adalah Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1977), Cahaya Maha Cahaya(1988), Lautan Jilbab(1989),Suluk Pesisiran(1990). Puisi-puisinya banyak dibacakan dimana-mana salah satunya di kampus UGM.
Ada satu kisah menarik setelah dia membacakan puisi Lautan Jilbab di kamus UGM. Para mahasiswa merasa senang dengan puisi tersebut dan berencana untuk mementaskannya di teater dan meminta dengan hormat kepada Emha untuk menuliskan naskah teater tersebut.
Emha menyanggupinya dan pertunjukan teater Lautan Jilbab banyak ditampilkan dimana-mana di Yogya, Surabaya sampai Makassar. Pentas teater Lautan Jilbab pernah mencatat sebagai pertunjukan teater yang memiliki rekor penonton paling banyak saat itu sekitar tahun 1990.
Masa reformasi 1998 menjadi titik penting dalam kehidupan Emha Ainun Najib. Setelah runtuhnya masa orde baru, dia mulai aktif dalam kegiatan kemanusiaan dan lebih banyak bergaul dengan masyarakat menengah kebawah dan mengajak masyarakat untuk melantunkan sholawat.
Dia ingin mendedikasikan seluruh hidupnya untuk melayani seluruh masayarakat di Indonesia dalam bidang sholawat. Emha juga pernah menjadi duta perdamaian ketika terjadi pertikaian antara suku Dayak dengan orang-orang Madura dan berhasil mendamaikan kedua suku tersebut.
Selain itu, dia juga membantu dalam menyelesaikan masalah lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur hingga masyarakatnya mendapatkan ganti rugi. Hal ini sebagai bukti kecintaannya kepada negara Indonesia dan ingin menciptakan kedamaian dan ketentraman seluruh masyarakat.
Saat ini Emha yang lebih dikenal dengan nama Cak Nun lebih banyak berkonsentrasi pada grup musiknya yaitu kyai Kanjeng untuk menghibur masyarakat. Selain itu juga aktif dalam membagikan ilmu kemanusiaan melalui maiyah di berbagai kota di Indonesia.
Referensi
komunitassastra.wordpress.com/2010/12/11/emha-ainun-nadjib-pengelana-dari-menturo/