Pentingnya pengajaran tatabahasa, kosakata, lafal, dan tatatulis dalam pembelajaran bahasa merupakan bagian dari kompetensi komunikatif, yang menjadi tujuan akhir dari pemelajaran bahasa. Oleh sebab itu, siswa perlu disadarkan atas peran tatabahasa, kosakata, lafal, dan tatatulis. Dalam mengajarkan tatatulis, mungkin guru sekedar memperkuat keterampilan siswa dalam hal tatatulis yang berlaku dalam berbahasa Indonesia karena tatatulis dalam bahasa Inggris sebagian besar sama dengan tatatulis bahasa Indonesia.
Dalam pengajaran lafal, guru hendaknya mempertimbangkan ubahan-ubahan yang telah diidentifikasi mempengaruhi lafal siswa. Dengan mengadaptasi Kenworthy (1987), Brown (2007b: 340-341) yang disunting oleh Suwarsih (2013: 148) menyarankan paa guru mempertimbangkan ubahan-ubahan yang mempengaruhi lafal siswa, yaitu: (1) bahasa ibunya (kemungkinan terjadi interferensi), (2) umur (di bawah masa puber, para pemelajar lafal lebih muda); (3) pajanan (kualitas dan intensitas), (4) kemampuan fonetik bawahan (kemampuan penyandian fonetik dan kecerdasan musical), (5) jatidiri dan ego bahasa (sikap positif memasuki budaya atau cara lain berbicara), dan (6) motivasi dan kepedulian akan lafal bagus (kehendak untuk mencapai kualitas lafal).
Kosakata, sebagai bagian dari kompetensi komunikatif, memerlukan perhatian yang layak. Guru-guru hendaknya memandang bentuk-bentuk leksikal dalam peran sentralnya dalam bahasa bermakna berkonteks. Untuk perlakuan komunikatif terhadap pengajaran kosakata, Brown (2001: 436-437) dalam Suwarsih (2013: 148) memberikan panduan sebagai berikut:
- Alokasikan waktu kelas khusus untuk kosakata;
- Bantu siswa-siswa untuk belajar kosakata dalam konteks;
- Kurangi ketergantungan mutlak pada kamus dwibahasa;
- Dorong siwa untuk mengembangkan strategi untuk menentukan makna kata;
- Libatkan siswa dalam pengajaran kosakata ‘tak terencana’.
Pengajara kosakata dapat mencakup kegiatan-kegiatan berikut:
- Pembentukan kata (akhiran, awalan, akar kata);
- Penanda definisi (perenthesis dan catatan kaki, sinonim dan antonomin);
- Penanda inferensial (misalnya contoh, ringkasan, pengalaman sendiri).
Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa tatabahasa merupakan bagian dari kompetensi komunikatif dan oleh sebab itu layak diberi perhatian. Namun, ada hal-hal yang perlu diwaspadai adalah bahwa seering alas an-alasan mengajarkan tatabahasa kurang tepat. Swan (2002) dalam Suwarish (2013: 149) menyebutkan tujuh alasan buruk untuk mengajarkan tatabahasa, yaitu:
- Karena tatabahasa ada dalam buku pelajaran, jadi sudah tersediah
- Tatabahasa itu rapi, terartur, mudah ditata dalam penyajian;
- Tatabahasa dapat diujikan secara lugas dan hasilnya terukur;
- Tatabahasa berperan sebagai selimut pengaman (yang dipelajari nyata/terukur0;
- Tatabahasa membuat pelajar merasa percaya diri karena memeroleh pengetahuan penting tentang bahasa sasaran;
- Keseluruhan sistem tatabahasa sasaran harus diajarkan;
- Tatabahasa membuat guru merasa berkuasa (menjadi sumber utama informasi).
Namun, dari uraian diatas Swan juga memberikan catatan dua alasan bagus untuk mengajarkan tatabahasa, yaitu:
- Komprehensibilitas, yaitu jika struktur yang diajarkan benar-benar dipilih karena sumbangannya yang esensial pada pemahaman/pengungkapan makna;
- Keberterimaan, yaitu jika struktur dipilih tidak sekedar yang membantu pemahaman, tetapi karena mendukung kadar keberterimaan bahasa yang diproduksi.
Teknik-teknik yang memokuskan pada tatabahasa secara tepat memiliki cirri-ciri berikut (Brown, 2007b: 421):
- Melekat dalam konteks bermakna;
- Memberi andil positif untuk mencapai tujuan;
- Latar belakang pendidikan;
- Keterampilan berbahasa;
- Gaya bahasa (register);
- Kebutuhan dan tujuan.
Mitchel (2000), seperti yang disitir oleh Sandra Fotos (2001), dalam Suwarsih (2013: 150), menyajikan seperangkat prinsip umum pengajaran tatabahasa yang berbasis hasil penelitian sebagai berikut:
- Pengajaran tatabahasa hendaknya direncanakan dan sitematis, yang dirumuskan berdasarkan visi strategis tentang hasil akhir yang diinginkan;
- Pengajaran bahasa hendaknya “diperkirakan secara kasar” agar memberikan sederet kesempatan kepada siwa yang berbeda sedikit tahap pemelajarannya untuk menilai peningkatan pemahaman mereka tentang tatabahasa;
- Pengajaran tatabahasa dapat mencakup penerimaan alih-kode kelas dan penggunaan bahasa ibu siswa, paling tidak bagi pemula;
- Pengajaran bahasa hendaknya “sedikit dan sering”, dengan banyak perbaikan dan pengulangan bahan yang sulit;
- Kegiatan tatabahasa yang memecahkan masalah dan berbasis teks dapat diperlukan untuk mengembangkan pengetahuan aktif terartikulasi siswa tentang tatabahas;
- Umpan balik korektif atif dan elisitasi akan meningkatkan kendali aktif siswa terhadap tatabahasa;
- Pengajaran tatabahasa perlu didukung dan dilekatkan pada kegiatan berorientasi makna untuk tujuan praktik dan penggunaan bahasa.
Baca: Pendekatan Komunikatif dalam Pengajaran Bahasa
Referensi
Suwarsih Madya, (2013), Metodologi pengajaran bahasa; dari era prametode sampai era pascametode. Yogyakarta: UNY Press