Abstrak
A. Pendahuluan
Bahasa tumbuh dan berkembang pada lingkup masyarkat tutur dengan ciri yang khas. Ciri–ciri ini berbeda dengan hewan karena bahasa manusia merupakan sebuah sistem lambang bunyi, bersifat aribeter, produktif, dinamis, dan manuisawi (Chaer, 2004:11). Penggunaan suatu bahasa oleh suatu masyarkat tutur juga dapat menjadi ciri khas suatu budaya yang berbeda dengan bahasa lain. Ragam bahasa ada dua yaitu formal dan informal. Ragam bahasa formal digunakan dalam acara resmi dan dituliskan pada dokumen yang resmi. Sedangkan ragam informal berbentuk tuturan yang digunakan dalam tuturan sehari – hari.
Bahasa Jawa adalah salah satu bahasa daerah dengan jumlah penutur yang besar, bahkan dengan penutur terbanyak di Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dari wilayah tuturan bahasa Jawa tersebut. Bahasa Jawa digunakan di daerah Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur kecuali Madura. Selain itu, bahasa Jawa juga tersebar di beberapa wilayah di Sumatra dan Kalimantan yang dibawa oleh pendatang dari suku Jawa ke daerah tersebut. Luasnya wilayah tuturan bahasa Jawa tersebut menyebabkan bahasa Jawa memiliki beberapa dialek yang berbeda di setiap wilayahnya. Beberapa dialek bahasa Jawa yang banyak penggunanya yaitu dialek Yogya-Solo, dialek Banyumasan, dan dialek Jawa Timuran.
Sepertihalnya bahasa Indonesia, bahasa Jawa pun juga berkembang karena adanya kontak dengan bahasa lain. Perkembangan bahasa seperti penyerapan bahasa dapat memperkaya bahasa Jawa akan tetapi juga dapat menghilangkan jati diri bahasa Jawa. Perkembangan bahasa jawa juga terjadi pada tataran morfologi, sintaksis, dan kosa kata. Kontak sosial ini menyebabkan penggunaan kosa kata Jawa yang mulai menurun terutama pada kelas kata tentu seperti kata sifat dan kata benda.
Pembagian kelas kata dalam bahasa Jawa tidak jauh berbeda dengan pembagian kelas kata dalam bahasa Indonesia. Perbedaannya hanya terletak pada penggunaan istilah untuk masing-masing jenis kata. Antunsuhono (1953) membagi kelas kata bahasa Jawa menjadi sembilan, yaitu (1) kata kerja, (2) kata benda, (3) kata sifat,(4) kata keterangan, (5) kata ganti, (6) kata bilangan, (7) kata depan, (8) kata penghubung, dan (9) kata seru (Wahyuni, 2015).
Salah satu adjektiva atau kita sifat yang berkembang karena tuturan lisan yaitu adjektiva evalitus. Adjektiva evalitus terjadi karena perubahan morfologi pada penuturan lisan (ekspresif) (Wahyuni, 2015). Bentuk adjektiva gedhe ‘besar’ megnalami proses morphologi gedhi ‘sangat besar’ dan gedhem ‘sangat besar’ lebih besar dari gedhi.
Kelas kata adjektiva evalitus mirip dengan adjektiva perbandingan dalam bahasa Inggris yang disebut degree of comparison. Adjektiva ini dikaterogorikan menjadi 3 bentuk 1) Possitive degree, 2) comparative degree, dan 3) superlative degree. Penggunaan adjektiva dalam bahasa Inggris lebih teratur yaitu dengan menambahkan morfem –er untuk makna lebih, morfem –est untuk makna paling untuk satu suku kata adjektif, sedangkan menambahan morfem more, untuk makna ‘lebih’, dan the most untuk makna ‘paling’ diterpakan pada kata adjektif lebih dari dua suku kata. Walau masih ada beberapa pengecualian perubahan morfologi adjektiva dalam bahasa Inggris, pola ini berlaku secara formal dan terdapat dalam kamus bahasa Inggris. Pola ini tidak terjadi pada bahasa Jawa karena hanya adjektiva evalitus bersifat sebagai tuturan lisan dan komunikasi informal.
Perubahan pola adjektiva dari kata susah ‘angel’ menjadi ‘angil” dalam bahasa jawa termasuk pola adjektiva berubah bunyi. Menurut Sasangka (2000:183) pola adjektiva berubah bunyi adalah adjektiva yang terjadi karena perubahan jumlah morfemnya karena dibentuk dengan peninggian vokal suku akhir bentuk dasar (netral), pendiftongan suku awal atau suku akhir, dan peninggian vokal sekaligus pendiftongan. Fungsi perubahan bunyi itu untuk menyatakan makna ‘penyangatan’.
Dalam penelitian ini, objek penelitian yang dipilih adalah penggunaan adjektiva elativus bahasa Jawa dialek Yogya-Solo. Dialek Yogya-Solo dipilih menjadi objek penelitian karena banyak leksikon-leksikon yang Jawa netral di banding dialek lainya. Hal ini disebabkan karena letak Yogyakarta yang dekat dari pusat budaya Jawa dan Keraton. Sebenarnya wilayah Yogyakarta dan Solo tidak hanya ditempati oleh suku Jawa saja. Terdapat suku/ etnis lain di luar Yogyakarta dan Solo memungkinkan adanya pengaruh terhadap bahasa Jawa di Yogyakarta. Oleh sebab itu, subjek penelitian akan difokuskan pada masyarakat Purworejo dengan memilih penduduk dengan dialek Yogya-Solo. Penggunaan adjektiva elativus diambil dari tuturan lisan masyarkat Purworejo meliputi wilayah perkotaan, pantai, dan pegunungan dengan latar belakang semua tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, rentang usia 5 tahun hingga 60 tahun.
Penelitian ini mengungkap tentang perkembangan dan penggunaan variasi tuturan bahasa Jawa yang ada pada masyarkat Jawa sebagai salah satu kekayaan bahasa Jawa terutama kata sifat atu adjektiva. Adjectiva elativus sebagai salah satu tuturan yang berkembang saat ini muncul dalam percakapan informal dalam tindak tutur masyarkat Jawa. Tuturan lisan adjectiva evalitus perlu mendapat perhatian dan dideskripsikan secara ilmiah, terlebih tuturan ini banyak digunakan oleh masyarkat Jawa hingga saat ini.
Berdasarkan latar belakang diatas maka secara khusus penelitan ini memiliki beberapa tujuan yaitu 1) mengidentifikasi bentuk tuturan adjektiva elativus bahasa Jawa yang ada di Purworejo. 2) Menjabarkan eksistensi penggunaan adjektiva elativus bahasa Jawa yang ada di Purworejo.
B. Kajian pustaka
1. Sosiolinguistik
Sosiolinguistik adalah pengembangan subbidang linguistic yang memfokuskan penelitian pada variasi ujaran, serta mengkaji dalam suatu konteks social. Meneliti kolerasi anatara factor factor social itu dengan variasi bahasa (Hickerson 1980: 81 dalam Chaer & Agustina 2004:4). Menurut Nurhayati (2009:3), kajian kemasyarakatan dalam sosiolinguistik mencakup antara lain: partisipan atau pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi, baik dalam kelompok besar maupun kecil; fungsi kelompok; persentuhan dalam kelompok; sector-sektor sosial; hubungan-hubungan dan perbedaannya. Masalah utama yang dibahasa oleh sosioliguistik adalah: (1) mengkaji bahasa dalam konteks sosial dan kebudayaan; (2) menghubungkan faktor-faktor kebahasaan, ciri-ciri, dan ragam bahasa dengan situasi serta faktor-faktor sosial dan budaya; (3) mengkaji fungsifungsi sosial dan penggunaan bahasa dalam masyarakat (Nababan, 1991: 3). Adapun topik-topik utama dalam sosiolinguistik menurut Nababan (1991: 3) yaitu: (1) bahasa, dialek, idiolek, dan ragam bahasa; (2) repertoar bahasa; (3) masyarakat bahasa; (4) kedwibahasaan dan kegandabahasaan; (5) fungsi kemasyarakatan bahasa; (6) penggunaan bahasa (etnografi bahasa); (7) sikap bahasa; (8) perencanaan bahasa; (9) interaksi sosiolinguistik; (10) bahasa dan kebudayaan.
2. Morfofonemik
Morfofonemik mempelajari perubahan-perubahan fonem yang timbul sebagai akibat pertemuan morfem dengan morfem lain (Ramlan, 1985:75). Morfem {ber-}, misalnya, terdiri dari tiga fonem, ialah /b/, / Ə /, /r/. Akibat pertemuan morfem {ajar}, fonem /r/ berubah menjadi /l/, hingga pertemuan morfem {ber-} dengan morfem {ajar} menghasilkan kata {belajar}. Terjadi proses morfofonemik yang berupa perubahan fonem, ialah perubahan fonem /r/ pada {ber-} menjadi /l/. Kata {kerajaan} /k Ə raja?n/ terdiri dua morfem, ialah morfem ke-an dan raja. Akibat pertemuan kedua morfem itu, terjadilah proses morfofonemik yang berupa penambahan, ialah penambahan fonem /?/ pada ke-an, hingga morfem ke-an menjadi /k Ə -?an/. Dapat disimpulkan bahwa, sebenarnya yang berubah bukan fonemnya, melainkan hanya fonnya saja. Hal ini dikarenakan fonem adalah satuan bunyi terkecil yang membedakan arti. Selain itu yang berubah bukan fonem pada afiks saja, tetapi perubahan dapat terjadi pada fonem awal bentuk dasarnya.
3. Bahasa Jawa
Berbeda dengan bahasa lainya, bahasa Jawa memiliki tingkat tutur yang ditentukan oleh sikap pembicara kepada mitra tuturnya (Wedhawati dkk, 2006: 10). Perbedaan tingkat tutur ini didasarkan pada umur, strata sosial, dan jarak keakraban. Tingkat tutur tersebut antara lain ngoko, madya, krama, krama inggil, krama-desa, kedhaton, dan kramantara. Sekarang ini tingkat tutur hanya dibagi dua yaitu ngoko (lugu dan alus) dan kram (lugu dan alus).
Dalam interaksi sosial bahasa jawa mengalami perubahan dikarenakan kontak bahasa dengan bahasa lain dan persebaranya yang luas. Perubahan bahasa ini mengakibatkan variasi pemakaian bahasa yang disebut dengan dialek. Dialek adalah variasi penyimpangan bahasa dari bahasa baku menjadi bahasa yang berstatus rendah, kasar, dan tidak netral (Chambers & Trudgill, 1980:3). Sekarang ini bahasa Jawa berkembang menjadi tiga dialek yaitu dialek Yogya – Solo yang disebut sebagia dialek netral, dialek Banyumas, dan dialek Jawa Timur.
4. Kategori adjektiva
Termasuk adjektiva bahasa Jawa yang dapat diklasifikasikan menjadi menjadi lima kategori yaitu 1) kategori kata tunggal, 2) kategori reduplikasi, 3) kategori elativus, 4) kategori eksesivus, dan 5) kategori –an (Wahyuni, 2015). Contoh kategori kata tunggal terdapat pada: abang ’merah’, ijo ’hijau’, dan gedhe ’besar’. Contoh kategori reduplikasi terdapat pada: abang-abang ’semua merah’, ijo-ijo ’semua hijau’, dan gedhe-gedhe ’besar-besar’. Contoh kategori elativus terdapat pada; abing ’sangat merah’, iju ’sangat hijau’, dan gedhi ’sangat besar’. Contoh kategori eksesivus terdapat pada: kabangen ’terlalu merah’, kijonan ’terlalu hijau’, dan kegedhen ’terlalu tinggi’. Contoh kategori –an terdapat pada kata: isinan ’sering atau memiliki sifat malu’, ngamukan ’sering atau memiliki sifat marah’.
5. Adjektiva elativus bahasa Jawa
Adjektiva kategori elativus termasuk dalam perubahan morfofonemik, yaitu perubahan bentuk fonemis sebuah morfem akibat pertemuannya dengan morfem lain di sekitarnya dalam pembentukan kata. Maksudnya, terjadinya perubahan-perubahan itu karena gejala bentuk semata-mata sehingga bersifat mengatasi jenis-jenis kata. Karena bersifat sistematis, terdapat kaidah-kaidah tertentu yang bersifat mengatur. Secara umum, adjektiva kategori elativus dikenal juga sebagai bentuk superlatif atau mbangetake ’menyangatkan’ (Sutarsih, 2013).
Menurut Wahyuni (2015) dalam penelitianya tentang adjketiva kategori elativus pada wilayah Pati, Rembang dan Blora sebagai daerah pengamatan mengkalsifkasikan adjektiva elativus dalam dua kelompok yaitu kelompok i dan kelompok u. Kelompok i merupakan adjektiva kategori elativus yang terbentuk dari kaidah (I, è, O) ~ i. Proses morfologis kelompok i terdapat pada suku terakhir. Fonem / I, è, O/ pada suku terakhir tertutup maupun terbuka berdistribusi dengan fonem /i/ menurunkan bentuk elativus. Contoh adjektiva elativus kaidah (I, è, O) ~ i antra lain 1) gloss ‘baik’, bentuk netra ‘apI?’, bentuk penyangatan ‘api?’, kaidah I ~ i, makna penyangatan ‘sangat baik’. 2) Gloss ’banyak’, bentuk netral ‘akèh, okèh’, bentuk penyangatan ‘akih’, kaidah è ~ i, makna penyangatan ‘sangat banyak’. 3) Gloss, ‘lebar’, bentuk netral ‘OmbO’, bentuk penyangatan ‘Ombi?’, diksi O ~ i?, makna penyangatan ’sangat lebar’.
Adjektiva kategori elativus kelompok u terbentuk dari kaidah (a, O, o) ~ u. Proses morfologis kelompok u juga terdapat pada suku terakhir. Fonem /a, O, o/ berdistribusi dengan fonem / u / menurunkan bentuk elativus. Contoh adjektiva elativus kaidah (a, O, o) ~ u antara lain 1) gloss ’merah’, bentuk netral ‘abaŋ’, bentuk penyangatan ‘abuŋ’, kaidah a ~ u, makna penyangatan ‘sangat merah’. 2) Gloss ‘jauh’, bentuk netral ‘adOh’, bentuk penyangatan ‘aduh’, kaidah O ~ u, makna penyangatan ’sangat jauh’. 3) Gloss ‘dalam’, bentuk netral ‘jero’, bentuk penyangatan ‘jeru’, kaidah o ~ u, makna penyangatan ‘sangat dalam’.
C. Metode penelitian
D. Hasil dan Pembahasan Penelitian
1. Bentuk adjektiva elativus di Purworejo
2. Eksistensi penggunaan adjektiva eltivus
Penggunaan adjektiva elativus di Purworejo sebagai pola superlatif justru lebih sering digunakan dari pada adjektiva netralnya. Hal ini menimbulkan pergerseran makna penyangatan yang mulai memudar. Pola ini dapat dilihat dengan penambahan kata banget pada akhir adjektiva penyangatan misal sangat jauh ‘aduh banget’, sangat terang ‘pading banget’, dan sangat lapar ‘ngelih banget’. Pola ini lebih menekankan lagi adjektiva elativus sudah ada yang sudah bermakna ‘sangat’.
E. Kesimpulan
F. Daftar Pustaka
- Arifin, Z. dan Junaiyah. 2007. Morfologi: Bentuk, Makna, dan Fungsi. Jakarta: PT Grasindo.
- Chaer, A. 2007. Linguistik Umum. Jakarta:Rineka Cipta.
- Chaer, A. dan Agustina, L. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
- Chambers, J.K. & Trudgill, P. 1980. Dialectology. Edisi kedua. Cambridge: Cambridge Univeristy Press.
- Kompas.com. 2011. http://forum.kompas.com/teras/48286-wow-bahasa-jawatersebar-di-6-negara-dunia.html/. Diakses 1 Mei 2016.
- Ramlan, M. 1985. Tata bahasa Indonesia Penggolongan Kata. Yogyakarta: Andi offset.
- Sutarsih. (2013). Perubahan Bentuk Kata Bermakna Superlatif Dalam Bahasajawa. Jurnal Jalabahasa (9)1, hlm.87-97. Semarang: Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah.
- Subroto, D.E. dkk. 1991. Tata Bahasa Deskriptif Bahasa Jawa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
- Wedhawati dkk. 2006. Tata Bahasa Jawa Mutakhir. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
- Sasangka, S.S.T.W, Indiyatini, T, Widjaja, N.H. 2000. Adjektiva Dan Adverbia Dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
- Wahyuni, S. 2015. Adjektiva Kategori Elativus: Pemerkaya Kosakata Bahasa Jawa. Kandai Volume 11 No.2, hlm 151-160.