1. Bahasa dan Tutur
Istilah kedua yaitu langue merupakan sebagai sebuah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu untuk berkomunikasi, atau langue juga disebut bahasa secara khusus atau bahasa tertentu. Contoh “ Nina belajar bahasa jepang, sedangkan Dika belajar bahasa arab ”. sama dengan langage, langue juga bersifat abstrak.
Istilah ketiga parole, bersifat konkret, karena parole merupakan pelaksanaan dari langue, dalam bentuk ujaran atau tuturan, yang mempunyai ciri khas. Setiap orang secara konkret memiliki kekhasan sendiri sendiri dalam berbahasa (berbicara atau menulis). Kekhasan ini dapat mengenal volume suara, pilihan kata, penataan sintaksis, dan penggunaaan unsur unsur bahasa lainnya. Ciri khas bahasa seseorang disebut dengan istilah idiolek. Jadi, kalau ada 1000 orang maka akan ada 1000 idiolek. Setiap bahasa sebagai langue dapat terdiri dari sejumlah dialek, dan setiap dialek terdiri dari sejumlah idiolek.
2. Verbal Repertoir
Jadi, untuk dapat disebut mempunyai kemampuan komunikatif seseorang haruslah mempunyai kemampuan untuk bisa membedakan kalimat yang gramatikal dan yang tidak gramatikal, serta mempunyai memilih bentuk bentuk bahasa yang sesuai dengan situasinya, serta tidak hanya dapat menginterpresentasikan makna referensial tetapi juga dapat menafsirkan makna konteks dan makna situasional.
Kemampuan komunikatif seseorang juga bervariasi, setidaknya menguasai satu bahasa ibu dengan berbagai variasi atau ragamnya; dan yang lain mungkin menguasai, selain bahasa ibu, juga sebuah bahasa lain atau lebih, yang diperoleh sebagai hasil pendidikan atau pergaulannya dengan penutur bahasa di luar lingkungannya.
Semua bahasa beserta ragam-ragamnya yang dimiliki atau dikuasai seorang penutur ini biasa disebut dengan istilah repertoir bahasa atau verbal repertoir dari orang itu. Berdasarkan luas dan sempitnya verbal repertoir sebuah masyarakat tutur dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Verbal repertoire yang dimiliki setiap penutur secara individual, menunjukan keseluruhan alat-alat verbal yang dikuasai oleh setiap penutur, pemilihan bentuk dan norma-norma bahasa sesuai dengan fungsi dan situasinya.
2. Verbal repertoir yang menjadi milik masyarakat tutur secara keseluruhan, menunjukan keseluruhan alat-alat verbal yang ada dalam masyarakat tutur serta norma-norma untuk menentukan pilihan variasi sesuai dengan konteks sosialnya.
Kajian yang mempelajari penggunaan bahasa sebagai sistem interaksi verbal di antara para penuturnya di dalam masyarakat disebut sosiolinguistik interaksional atau sosiolinguistik mikro. Sedangkan kajian mengenai penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan adanya ciri ciri linguistik didalam masyarakat disebut sosiolinguistik korelasional atau sosiolinguistik makro (Appell 1976). Kedua jenis sosiolinguistik ini makro dan mikro mempunyai hubungan sangat erat, tidak dapat dipisahkan, karena keduanya saling bergantung. Maksudnya verbal repertoir setiap penutur ditentukan oleh masyarakat dimana ia berada sedangkan verbal repertoir suatu masyarakat tutur terjadi dari himpunan verbal repertoir semua penutur di dalam masyarakat itu.
3. Mayarakat Tutur
Fishman (1976:28) menyebut “ masyarakat tutur adalah suatu masyarakat yang anggota-anggotanya setidak tidaknya mengenal satu variasi bahasa beserta norma-norma yang sesuai dengan penggunaanya ”. Kata masyarakat dalam istilah masyarakat tutur bersifat relatif, dapat menyangkut masyarakat yang luas, dan dapat pula hanya menyangkut sekelompok kecil orang.
Bahasa mengenal masyarakat tutur sebenarnya sangat beragam, yang barang kali antara satu dengan yang lain agak sukar untuk di pertemukan. Bloomfield (1933:29) membatasi dengan “ sekelompok orang yang menggunakan sistem isyarat yang sama “. Batasan Bloomfield ini dianggap terlalu sempit oleh para ahli sosiolinguistik sebab, terutama dalam masyarakat modern banyak orang yang menguasai lebih dari satu ragam bahasa.
Didalam masyarakat itu sendiri terdapat lebih dari satu bahasa. Batasan yang diberikan oleh Labov (1972:158) yang mengatakan “ satu kelompok orang yang mempunyai norma yang sama mengenai bahasa “. Pandangan ini dianggap terlalu luas dan terbuka.
Masyarakat tutur yang besar dan beragam memperoleh verbal repertoirnya dari pengalaman atau dari adanya interaksi verbal langsung di dalam kegiatan tertentu. Mungkin juga di peroleh secara referensial. Yang diperkuat dengan adanya integrasi simbolik, seperti integrasi dalam sebuah wadah yang disebut negara, bangsa, atau daerah. Jadi, mungkin saja suatu wadah negara, bangsa, atau daerah membentuk suatu masyarakat tutur dalam pengertian simbolik itu. Dalam hal ini tentu saja yang disebut bahasa nasional dan bahasa daerah jelas mewakili masyarakat tutur tertentu dalam hubungan dengan variasi kebahasaan.
Dilihat dari sempit dan luas verbal repertoirnya dapat dibedakan adanya dua macam masyarakat tutur yaitu (1) masyarakat tutur yang repertoir pemakaiannya lebih luas, dan menunjukkan verbal repertoir setiap penutur lebih luas pula, dan (2) masyarakat tutur yang sebagian anggotanya mempunyai pengalaman sehari hari dan aspirasi hidup yang sama dan menunjukkan pemilikan wilayah linguistik yang lebih sempit, termasuk juga perbedaan variasinya. Kedua jenis masyarakat tutur ini terdapat baik dalam masyarakat yang termasuk kecil dan tradisional maupun masyarakat besar dan modern. Hanya, seperti dikatakan Fishman(1976:33) dan juga Gumperz (1973:37-53). Masyarakat modern mempunyai kecenderungan memiliki masyarakat tutur yang lebih terbuka dan cenderung menggunakan berbagai variasi dalam bahasa yang sama. Sedangkam masyarakat tradisional bersifat lebih tertutup dan cenderung menggunakan variasi dalam beberapa bahasa yang berlainan. Penyebab kecenderungan itu adalah berbagai faktor sosial dan faktor kurtural.
Berdasarkan verbal repertoir yang dimiliki oleh masyarakat, masyarakat bahasa dibedakan menjadi tiga, yaitu:
a. Masyarakat monolingual (satu bahasa)
b. Masyarakat bilingual (dua bahasa)
c. Masyarakat multilingual (lebih dari 2 bahasa).
4. Bahasa dan Tingkatan Sosial Masyarakat
Untuk melihat adanya hubungan antara kebangsawanan dengan bahasa, kita ambil contoh masyarakat tutur bahasa jawa, mengenai tingkat kebangsawanan ini, Kuntjaraningrat ( 1967:245) membagi masyarakat jawa ada 4 tingkat yaitu :
- Wong cilik
- Wong sudagar
- Priyayi
- Ndara
- Priyayi
- Bukan priyayi tetapi berpendidikan dan bertempat tinggal dikota
- Petani dan orang-orang kota yang tidak berpendidikan
Perbedaan variasi bahasa dapat juga terjadi apabila yang terlibat dalam pertuturan mempunyai tingkat sosial yang berbeda. Misalnya jika wong cilik berbicara dengan priyayi atau ndara maka masing-masing menggunakan variasi bahasa Jawa yang berlainan. Pihak yang tingkat sosialnya lebih rendah menggunakan tingkat bahasa yang lebih tinggi, yaitu krama dan yang tingkat sosialnya lebih tinggi menggunakan tingkat bahasa yang lebih rendah yaitu ngoko. Variasi bahasa yang penggunaannya didasarkan pada tingkat-tingkat sosial ini dikenal dalam bahasa Jawa dengan istilah undak usuk.
Sehubungan dengan undak usuk ini bahasa Jawa terbagi dua, yaitu krama untuk tingkat tinggi dan ngoko untuk tingkat rendah. Namun, diantara keduanya masih terdapat adanya tingkat-tingkat antara. Uhlenbeck (1970), seorang pakar bahasa Jawa, membagi tingkat variasi bahasa Jawa menjadi tiga yaitu krama, madya dan ngoko lalu diperinci lagi menjadi muda krama, kramantara dan wreda krama madyangoko, madyantara dan madya krama; ngoko sopan dan ngoko andhap. Sedangkan Clifford Geertz (1976) membagi menjadi dua bagian pokok yaitu krama dan ngoko. Lalu krama diperinci lagi menjadi krama inggil, krama biasa dan krama madya sedangkan ngoko deperinci menjadi ngoko madya, ngoko biasa dan ngoko sae.
Dalam masyarakat kota besar yang heterogen dan multietnis, tingkat status sosial berdasarkan derajat kebangsawanannya mungkin sudah tidak ada ataupun walaupun masih ada sudah tidak dominan lagi. Sebagai gantinya adalah lapisan tingkatan dilihat dari status sosial ekonomi.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa ada korelasi antara tingkat sosial didalam masyarakat dengan ragam bahasa yang digunakan sejalan dengan kesimpulan adanya hubungan antar kode bahasa dengan kelas sosial penuturnya.
- Appel, Rene. 1976. Sosiolinguistiek. Utrech-Antwerpen: Het Spectrum
- Bloomfield, Leonard. 1933. Language. New York: Holt, Rinehart and Winston
- Chomsky, N. 1965. Aspects of the Theory of a Syntax. Cambridge-Mass: The MIT Press
- Djoko Kencono. 1978. “Beberapa Masalah Lafal Standar” Pengajaran Bahasa dan Sastra. Th. V, No. 5:16-23
- Fishman, J.A. 1968. Reading in the Sociology of Language. Den Haag-Paris: Mouton
- Gumperz, J.J. 1970. The Speech Community. New York: Holt, Rinehart
- Halliday, M.A.K. 1986. The Users and Uses of Language dalam Fishman (Ed) 1968.
- Labov, William. 1966. The Social Startification of English in New York City. Washington D.C: Center for Applied Linguistics
- Nababan, P.W.J. 1984. Sosiolinguistik. Jakarta: Gramedia