Pengertian Analisis Kajian Linguistik, Bawahan Langsung dan Rangkaian Unsur

Posted on
https://pixabay.com/id/users/elifrancis-1160677/

Analisis linguistik dilakukan terhadap bahasa, atau lebih tepat terhadap semua tataran tingkat bahasa, yaitu fonetik, fonemik, morfologi, sintaksis, dan semantik.

Berikut ini akan dibahas hal-hal yang akan dianalisis dalam kajian linguistik itu.

1. Struktur, Sistem, dan Distribusi

Bapak linguistik modern, Ferdinand de Saussure (1857-1913) dalam bukunya Course de Linguistique Generale (terbit pertama kali 1916, terjemahannya dalam bahasa Indonesia terbit 1988) dalam Chaer (2014: 19) membedakan adanya dua jenis hubungan atau relasi yang terdapat antara satuan-satuan bahasa.

Hubungan tersebut  yaitu relasi sintagmatik dan relasi asosiatif.

Yang dimaksud dengan relasi sintagmatik adalah hubungan yang terdapat antara satuan bahasa di dalam kalimat yang konkret tertentu.

Sdangkan relasi asosiatif adalah hubung yang terdapat dalam bahasa, namun tidak tampak dalam susunan satuan kalimat.

Hubungan asosiatif ini baru tampak bila suatu kalimat dibandingkan dengan kalimat lain.

Misalnya, dalam kalimat: Dia mengikut ibunya terdapat 15 buah fonem yang berkaitan dengan cara tertentu; ada 3 buah kata dengan hubungannya tertentu pula; dan ada 3 fungsi sintaksis, yaitu: subjek, predikat, dan objek yang mempunyai hubungan yang tertentu pula.

Hubungan-hubungan yang terja di antara satuan-satuan bahasa itu, baik antara fonem yang satu dengan yang lain, disebut bersifat sintagmatig.

Jadi, hubungan sintagmatig ini bersifat linear, atau horizontal antara satuan yang satu dengan yang lain yang berbeda di kiri dan kanannya.

Sekarang perhatikan kata mengikut pada contoh kalimat di atas.

Para penutur bahasa Indonesia tentu tahu adanya bentuk-bentuk mengikuti, mengikutkan, kauikuti, kauikutkan, dan terikuti.

Maka, di sini, hubungan antara mengikut, mengikuti dan yang lainnya itu, oleh Ferdinand de Saussure dalam Chaer (2014: 20) disebut hubungan yang bersifat asosiatif.

Louis Hjelmslev, seorang linguis Denmark, mengambil alih konsep de Saussure itu, tetapi dengan sedikit perubahan.

Beliau mengganti istilah asosiatif dengan istilah paradigmatig, serta memberinya pengertian yang lebih luas.

Hubungan paradigmatic tidak hanya berlaku pada tataran morfologi saja, tetapi berlaku untuk semua tataran bahasa.

Misalnya, kalau kalimat Dia mengikut ibunya kita bandingakan dengan kalimat Dia mengikat anjinganya, maka hubungan antara mengikut dan mengikat, dan hubungan antara ibunya dan anjingnya adalah bersifat paradigmatic.

Begitu juga antara ikut dan ikat dalam tataran fonologi.

Firth, seorang linguis Inggris, menyebut hubungan yang bersifat sintagmatik itu dengan istilah struktur, dan hubungan paradigmatic itu dengan istilah sistem.

Menurut Verhaar (1978) dalam Chaer 92014: 20) istilah struktur dan sistem ini lebih tepat digunakan.

Mengapa? Karena istilah tersebut dapat digunakan atau diterapkan pada semua tataran bahasa, yaitu tataran fonetik, fonologi, morfologi, sintaksis, juga pada tataran leksikon.

Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa struktur adalah susunan bagian-bagian kalimat Konstituen-konstituen atau konstituen kalimat secara linear.

Konstituen-konstituen atau bagian-bagian kalimat itu dapat dibandingkan atau diasosiasikan dengan bentuk bahasa yang lain, satu fonem dengan fonem yang lain, satu morfem dengan morfem yang lain, atau satu kata dengan kata yang lain.

Hubungan antara bagian-bagian kalimat tertentu dengan kalimat lainnya kita sebut sistem.

Jadi, fakta adanya bentuk kata kerja aktif dengan suatu bahasa menyangkut masalah sistem dalam bahasa tersebut. Fakta bahwa objek selalu terletak dibelakang predikat dalam bahasa Indonesia adalah masalah struktur dalam bahasa Indonesia.

Struktur dapat dibedakan menurut tataran sitematik bahasanya, yaitu menurut susunan fonetis, menurut susunan alofonis, menurut susunan morfemis, dan menurut susunan sintaksis.

Sistem pada dasarnya menyangkut masalah distribusi.

Distribusi, yang merupakan istilah utama dalam analisis bahasa menurut model struktiralis Leonard Bloomfield (tokoh linguis Amerika dengan bukunya Language, terbit 1993), adalah menyangkut masalah dapat tidaknya penggantian suatu konstituen tertentu dalam kalimat tertentu dengan konstituen lainnya.

Umpamanya, konstituen dia dalam kalimat di atas Dia mengikut ibunya dapat diganti atau disubtitusikan dengan konstituen Ali, anak itu, atau mahasiswa itu.

Konstituen mengikut dapat diganti dengan konstituen menyapa, membawa, atau mengunjungi; tetapi konstituen dia tidak dapat diganti dengan konstituen berlari, marah, atau meja itu.

Begitu juga konstituen mengikut tidak dapat diganti dengan konstituen orang itu, sering, atau tetapi.

Dengan penjelasan di atas dapatlah dikatakan akan adanya subtitusi fonemis, subtitusi morfemis, dan subtitusi sintaksis. Subtitusi fonemis menyangkut penggantian fonem dengan fonem lain.

Misalnya, dengan pasangan minimal dari Vs lari, kuda Vs kura, dan tambal Vs tambat. Distribusi morfemismenyangkut masalah pergantian sebuah morfem dengan morfem lain.

Misalnya, mengikuti Vs diikuti Vs terikuti; daya juang Vs medan juang; dan tuna karya Vs tuna wisma. Distribusi sintaksis menyangkut masalah penggantian kata deng kata lain, frase dengan frase lain, atau klausa dengan klausa lainnya.

2. Analisis Bawahan Langsung

Analisis bawahan langsung sering juga disebut analisis unsur langsung, atau analisis bawahan terdekat (Inggrisnya immediate constituent analysis).

Analisis ini adalah suatu teknik dalam menganalisis unsur-unsur atau konstituen-konstituen yang membangun satuan-satuan bahasa, entah satuan kata, satuan frase, satuan klausa, maupun satuan kalimat (Chaer, 2014: 21).

Setiap unsur bahasa secara apriori diasumsikan terdiri dari dua buah konstituen yang langsung membangun satuan itu (dalam hal ini mengapa harus dua buah, tidak pernah dijelaskan) Misalnya, satuan bahasa yang berupa kata dimakan.

Unsur langsungnya adalah di dan makan. Satuan kereta api unsur langsungnya adalah kereta dan api. Bagan keduanya satuan bahasa itu adalah sebagai berikut:

Untuk satuan-satuan bahasa yang hanya terdiri dari dua buah konstituen seperti contoh di atas tidak ada masalah; tetapi untuk satuan yang lebih besar, yang secara kuantitatif terdiri dari beberapa unsur mulai timbul masalah.

Misalnya bentuk dimakani, apakah unsur langsungnya di dan makani ataukah dimakan dan i. Keduanya memang mungkin. Baganya sebagai berikut:

Adanya dua tafsiran ini karena yang pertama bersandar pada teori bahwa sufiks –I dalam bahasa Indonesia merupakan konstituen pembentuk kata secara derivative.

Jadi, sufuks –I diletakan lebih dahulu dari pada prefix di-. Sedangkan yang kudua bersandar pada teori distribusi menurut urutan linier.

Perbedaan tafsiran analisis lebih mungkin lagi dapat terjadi pada satuan bahasa yang lebih kompleks.

Meskipun teknik analisis bawahan langsung ini banyak kelemahannya, tetapi analisis ini cukup memberi manfaat dalam memahami satuan-satuan bahasa.

Teknik ini bermanfaat dalam menghindari keambiguan karena satuan-satuan bahasa yang terkait pada konteks wacananya dapat dipahami dengan analisis tersebut.

3. Analisis Rangkaian Unsur dan Analisis Proses Unsur

Satuan-satuan bahasa dapat pula dianalsis menurut teknik analisi rangkaian unsur dan analisis proses.

Kedua cara ini bukan barang baru, sebab sudah dipersoalkan orang sejak tahun empat puluhan. Satuan bahsa yang di analisis biasanya terbatas hanya pada satuan morfologi.

Analisis rangkaian unsur (Inggrisnya item-and-arrangement) mengajarkan bahwa setiap satuan bahasa dibentuk atau ditata dari unsur-unsur lain.

Misalnya, satuan tertimbun terdiri dari ter-+timbun, satuan kedinginan terdiri dari dingin + ke-/-an, dan rumah-rumah terdiri dari rumah + rumah.

Jadi, dalam analisis rangkaian unsur ini setiap satuan bahasa “terdiri dai . . .”, bukan “dibentuk dari . . .” sebagai hasil dari suatu proses pembentukan.

Berbeda dengan analisis rangkaian unsur, maka analisis proses unsur (bahasa Inggrisnya item-and-process) menganggap bahwa setiap satuan bahasa adalah merupakan hasil dari satuan proses pembentukan.

Jadi, bentuk tertimbun adalah hasil dari proses prefiksasi ter- dengan dengan dasar timbun.

Dalam bahasa Indonesia ada satu persoalan sehubungan dengan analisis proses unsur ini.

Kalau bentuk membangun adalah hasil prefiksasi me- dengan bentuk dasar bangun, maka apakah bentuk pembangunan adalah hasil proses konfiksasi pe-/-an dengan dasar bangun atau bukan, sebab maka pembangunan adalah ‘hal membangun’ atau ‘prese membangun’.

Jadi, secara semantik pembangunan adalah hasil proses konfiksasi pe-/-an dengan dasar membangun.

Atau setidaknya harus dikatakan bentuk pembangunan diturunkan atau berasal dari verba membangun, dan buka dari verba bangun.

Dengan demikian kita bisa menjelaskan bedanya pengembangan dengan perkembangan.

Bentuk pengembangan diturunkan dari verba mengembangkan karena bermakna ‘hal mengembangkan’; sedangkan bentuk perkembangan diturunkan dari verba berkembang atau memperkembangkan karena bermakna ‘hal berkembankan’ atu ‘hal memperkembangkan’.

Referensi

Chaer, Abdul. (2014). Linguistik umum. Jakarta: Rineka Cipta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *