Pengaruh Bahasa Pertama Terhadap Proses Belajar Bahasa Kedua

Posted on
pixabay.com/id/users/klimkin-1298145

Telah lama para ahli pengajaran bahasa kedua percaya bahwa bahasa pertama atau bahasa yang diperoleh sebelumnya, berpengaruh terhadap proses penguasaan bahasa kedua peserta didik (Ellis, 2004).

Bahkan, bahasa pertama telah lama dianggap sebagai pengganggu peserta didik dalam menguasai bahasa kedua.

Pendapat ini sangat kuat diikuti ketika masih ramainya para ahli mendukung teori stimulus respons yang melahirkan metode audiolingual.

Pandangan ini karena secara disadari atau tidak, peserta didik melakukan transfer atau memindahkan unsur-unsur bahasa pertama ke dalam struktur bahasa kedua.

Akibatnya, terjadilah apa yang disebut pergantian struktur dan kode-kode bahasa dari bahasa pertama terhadap bahasa kedua yang digunakannya.

Bentuk pemindahan ini dapat berupa kesalahan atau errors, kesilapan atau erreurs dalam bahasa Prancis, atau bisa dipandang sebagai adanya bentuk bahasa baru yang diciptakan sendiri oleh peserta didik yaitu bahasa antara.

Bahasa atara ini dikenal dalam literature pemerolehan bahasa sebagai interlanguage.

Jika struktur bahasa pertama sama atauu mirip dengan bahasa kedua, peserta didik akan lebih mudah mentransfernya.

Jika perbedaan antarkeduanya tidak disadari oleh peserta didik, kemungkinan terjadi transfer negative, yang pada akhirnya memunculkan peristiwa interferensi (sengaja menggunakan kaidah bahasa pertama untuk bahasa kedua), kesilapan (kesalahan yang diibuat secara incidental karena tidak sengaja), dan kesalahan (yaitu kesalahan yang m uncul secara konsisten karena ketidaktahuan).

Itulah sebabnya, semakin besar perbedaan struktur antara yang ada dalam bahasa pertama dengan yang ada dalam bahasa kedua, usaha yang harus dilakukan oleh peserta didik dalam memperoleh dan menguasai bahasa kedua cenderung lebih berat dan sukar bila dibandingkan dengan apabila kedua bahasa itu memiliki banyak kesamaan.

Demikian pencetus analisis konstrastif terhadap pengaruh baasa pertama pada bahasa kedua.  Dengan demikian, dapat diketahui bahwa bahasa pertama berpengaruh terhadap proses penguasaan bahasa kedua.

Keadaan linguistik bahasa pertama penting artinya bagi usaha menentukan strategi pembelajaran yang diperkirakan efektif oleh peserta didik dalam rangka transferisasi. Belajar bahasa kedua adalah belajar mentransfer bahasa baru di atas bahasa yang sudah ada.

Pandangan ketiga sebagai hasil riset pengaruh bahasa pertama terhadap bahasa kedua adalah apa yang dikenal sebagai hipotesis kesejajaran antara bahasa pertama dan bahasa kedua.

Pandangan ini nanti akan lebih banyak dikupas dalam bagian tersendiri, yaitu hipotesis-hipotesis pemerolehan bahasa. Namun sebagai gambaran awal, berikut ini disinggung tentang pengaruh bahasa  pertama menurut pandangan ketiga.

Pandangan ketiga tentang pengaruh bahasa pertama terhadap bahasa kedua dikemukakan oleh Krashen. Dalam bukunya itu ia mengemukakan bahwa peserta didik memperoleh bahasa kedua dengan jalan menerima masukan atau input dari pesan-pesan yang sampai dan dipahami maknanya. Menurut hipotesis ini, peserta didik atau pembelajar memperoleh bahasa kedua hanya dengan satu cara, yaitu dengan cara mengerti serta memahami makna pesan yang disampaikan kepadanya.

Peserta didik dapat berbahasa kedua karena telah mendapat masukan yang memadai dan dapat dipahami maknanya. Itulah sebabnya, meningkatkan kemampuan peserta didik bergantung pada bertambahnya masukan ke dalam benaknya.

Artinya, penguasaan bahasa kedua adalah suatu proses keberlangsungan yang berkaitan dengan persoalan masukan bahasa. Selama dalam proses inilah bahasa pertama berperan menentukan tingkat penguasaan peserta didik terhadap bahasa kedua.

Selama dalam proses penguasaan bahasa kedua (B2), bahasa pertama (B1) bermanfaat untuk mentransfer makna dari pengertian yang dikandung oleh masukan dari bahasa kedua ssampai pada proses internalisasi atau pengendapan.

Semakin peserta didik mampu menerjemahkan makna masukan yang diterima dengan bahasa pertama yang telah dimilikinya, semakin memungkinkan ia mengubah masukan bahasa itu menjadi penambahan kemampuan pada bahasa keduanya.

Pengaruh bahasa pertama terhadap proses belajar bahasa kedua juga dapat dari apa yang kemudian terkenal dengan istilah bahasa antara atau interlanguage.

Bahasa antara adalah suatu gejala pemakaian bahasa yang muncul akibat peserta didik belum sepenuhnya dapat meninggalkan kebiasaannya dalam baebahasa pertama, tetapi belum sepenuhnya menguasai bahasa kedua. Dalam literature pemerolehan bahasa jenis bahasa ini diistilahkan sebagai bahasa antara.

Ada ahli bahasa yang mengungkapkan bahwa belajar bahasa kedua adalah sistem belajar secara tidak wajar. ‘Ketidakwajaran yang dimaksud mungkin merujuk pada proses ketidakseengajaan yang terjadi selama proses pemerolehan bahasa saat berinteraksi dengan berbagai kalangan.

Sebaliknya, jika seseorang memperoleh secara wajar sejak kecil, maka orang tersebut telah memperoleh bahasa pertama. Dengan demikian, yang dimaksud dengan bahasa kedua adalah bahasa Inggris, bahasa Jepang, bahasa Prancis, bahasa Arab, bahasa Cina, bahasa Jerman atau bahasa Indonesia bagi penutur yang berasal dari bahasa pertama bahasa daerah.

Sedangkan bahasa pertama adalah bahasa Jawa bagi penutur asli Jawa, bahasa Sunda bagi penutur Sunda, bahasa Batak bagi penutur Batak atau bahasa Indonesia bagi penutur bahasa yang dilahirkan dari orang tua dengan perkawinan campuran. Seperti Jawa-Batak, Sunda-Jawa, Sunda-Prancis, dan lain-lain.

Dalam belajar B2 pembelajar tentunya sudah menguasai B1 dengan baik dan perkembangan pemerolehan B2 harus berjalan tanpa diiringi dengan perkembangan fisik dan psikisnya.

Belajar B2 dilakukan secara formal dan biasanya memiliki motivasi yang tidak terlalu tinggi. Hal yang menjadi kendala dalam belajar B2 yaitu adakalanya anggapan bahwa bahasa kedua seperti bahasa Inggris, jarang dipakai di tempat tinggal mereka.

Faktor lain karena frekuensi pemakaian B2 sangat kurang sehingga kesempatan untuk berkomunikasi amat kurang pula.

Selain itu, yang menjadi bahan pertimbangan karena kualifikasi pengajar B2 umumnya masih diragukan; buku ajar yang dijadikan panduan bagi peserta didik cenderung lebih menekankan pada aspek struktur kalimat daripada pemakaian berbahasa berbahasa itu sendiri; jumlah peserta didik yang belajar B2 seperti bahasa Inggris terlalu banyak (40 atau lebih dalam satu kelas); waktu belajar B2 dirasakan terlalu singkat (hanya tiga kali dalam satu minggu, setiap pertemuan berlangsung 45 menit); buku-buku penunjang B2 di perpustakaan sekolah pada umumnya belum memadai.

Untuk memahami B2 dengan baik dan mudah bagi peserta didik, tentu ada baiknya pendapat Bialyatok (dalam Baraja, 1990) di uraikan di sini.

“Mengapa orang-orang tertentu berhasil belajar B2 dan orang-orang lain gagal, walaupun pengalaman yang diberikan kepada mereka sama?”

“Mengapa ada orang yang ‘kuat’ dalam penguasaan aspek tertentu dari B2, sedangkan yang lain ‘kuat’ dalam aspek yang lain?

Untuk memahami belajar B2 terdapat tiga pengetahuan yang harus dimiliki pembelajar. Pengetahuan yang dimaksud yaitu input, knowledge, dan output.

Pembelajar yang baik bila ingin berhasil menguasai B2, tentu harus memiliki pengalaman (language exposure) atau input. lalu, semua informasi dan pengalaman yang diperoleh pembelajar harus disimpan dalam suatu tempat yang disebut knowledge.

Akhirnya, pada suatu kemampuan untuk memahami dan mengutarakan isi hati yang disebut output.

Artinya, ketiga proses di atas terjadi secara alamiah; input terjadi di dalam masyarakat yang diolah melalui pengetahuan individu (knowledge) sehingga melahirkan keluaran (output) dalam bentuk ujaran lisan atau tertulis.

Bentuk exposure yang paling kentara dalam belajar bahasa secara informal tampak dalam mendengarkan televisi, membaca novel dalam B2, membaca surat kabar dalam B2, dan sebagainya.

Semua itu akan memperkaya isi yang disebut implicit linguistic knowledge. Sedangkan exposure atau belajar B2 secara formal, akan tampak pada pengalaman belajar bahasa Inggris, belajar bahasa Indonesia bagi penutur pertama bahasa daerah di kelas, membaca tentang buku-buku teks tentang bahasa Inggris, dan sebagainya.

Semua itu untuk memperkaya isi yang dinamakan explicit linguistic knowledge. Adapun exposure dalam hal belajar ilmu yang bermacam-macam, seperti belajar ilmu fisika, ilmu agama, ilmu kimia akan memperkaya isi yang disebut other knowledge.

Tiga macam isi ini secara bersama akan memberikan kemudahan bagi pembelajar dalam proses belajar B2.

Dalam model ini akan ditunjukan garis-garis tebal yang berarti garis-garis pemrosesan dan merujuk pada hubungan yang sifatnya wajib, sedangkan garis-garis putus merujuk pada strategi yang bersifat manasuka.

Strategi ini tidak sama bagi masing-masing individu; kuat atas lemahnya strategi ini ditentukan oleh banyak faktor; beberapa diantaranya ialah intelegensi, sikap, kebutuhan, ketakutan, dan sebagainya.

R (respons) mengacu pada output, baik berupa pemahaman maupun pengaturan isi hati. Ada dua macam : tipe I dan tipe II. Tipe I mengacu pada respons yang spontan dan tipe II mengacu pada respons yang tidak spontan.

Hasil dari membaca bisa dikelompokkan pada tipe ke II, sebab kalau ada tidak jelas kita mempunyai waktu untuk berpikir sejenak, bahkan dapat diulang kembali apa yang telah dibaca. Hasil dari percakapan pada umumnya masuk dalam tipe I karena segala sesuatu harus dikerjakan secara spontan.

Belajar tatabahasa tentu saja lebih banyak memberi masukan kepada explicit linguistic knowledge, sedangkan pengalaman berkomunikasi memberikan masukan yang lebih banyak kepada implicit linguistic knowledge.

Belajar sejarah, fisika, matematika, biologi dan sebagainya memberikan masukan kepada other knowledge (pengetahuan lain). Dalam strategi belajar B2, pembelajar dapat mengundang ilmu-ilmu yang relevan.

Untuk percakapan biasa other knowledge tidak terlalu relevan, tetapi untuk berbincang-bincang mengenai biologi, fisika, matematika, jelas memerlukan bantuan sel tersebut di atas.

Pengajar bahasa Inggris tentang biologi, fisika, matematika. Pengajar tersbut tidak sanggup untuk berbincang-bincang atau membaca teks bahasa Inggris apabila pengetahuan linguistic implisitnya (implicit linguistic knowledge) dan pengetahuan linguistic ekplisitnya (explicit linguistic knowledge) kosong.

Hubungan yang tergambar dalam model ini didukung kenyataan dalam kehidupan kita sehari-hari. Dosen aplikasi bahasa Inggris yang mengajar di fakultas teknik harus menguasai ilmu teknik.

Hal ini mencerminkan bahwa sebaiknya yang mengajar di fakultas teknik mesin yang menguasai bahasa Inggris. namun, persoalan itu memiliki dimensi persoalan lain.

Simpulan dari analogi di atas adalah bahwa sel-sel harus mempunyai isi yang diperlukan oleh pembelajar agar pembelajar dengan mudah dapat melaksanakan tugas kebahasaannya dengan baik. Penerapan strategi ini semuanya terletak pada diri pembelajar.

Referensi: Iskandarwassid dan Dadang Sunendar. (2016). Strategi pembelajaran bahasa. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *