Kajian Kontroversi dalam Linguistik dan Atmosfir Keilmuan di Indonesia

Posted on
Kontroversi adalah telaah (keilmuan) yang diwarnai dengan pernyataan ilmiah dari sudut pandang yang berlawanan (Wahab, 1991: 5). Ilmu dikatakan dapat berkembang dan tumbuh dengan subur, jika kehidupan kontroversi ini diberikan atmosfer yang sehat. Dalam kehidupan kontroversi keilmuan yang sehat, masing-masing kubu keilmuan yang saling berhadapan akan selal berusaha mempertahankan dan menyempurnakan kekurangan-kekurangan paradigm keilmuan masing-masing. Usaha penyempurnaan paradigm ini akan menghasilkan kualitas teori yang sedang dianut.

Perkembangan teori linguistik dari jaman Yunani Kuno sampai sekarang tidak lepas dari adanya kontroversi. Kontroversi yang pertama sudah ada sejak abad keenam sebelum Masehi. Dua kubu yang saling berhadapan saat itu adalah kubu phusis dan kubu thesis. Kubu phusis percaya bahwa dalam bahasa itu ada keterkaitan antara kata dan alam. Keterkaitan antara kata dan alam itu, menurut kubu phusis, bersifat alami dan memang sangat diperlukan. Sebaliknya, kubu thesis percaya bahwa tidak ada keterkaitan  antarakata dan alam. Hubungan antara kata dan alam sifatnya arbiter dan konvensional.

Dalam mempertahankan pendiriannya, kubu phusis mengemukakan beberapa alasanya menurut Wahab (1991: 5), yaitu:

Pertama, adanya gejala onomatopoeia, yang berarti ‘gema suara alam’. Maksudnya kaum phusis ialah bahwa gema suara alam itu dipakai manusia untuk menanamkan konsep-konsep kebendaan yang ada disekelilingnya. Gejala onomatopoeia itu berkembang ke arah asosiasi bunyi dan dengan sifat atau keadaan seseorang atau benda. Misalnya, bunyi I dalam bahasa Indonesia diasosiasikan dengan kecantikan, kemungilan, atau kesucian. Kata-kata melati, suci, murni, dan kebanyakan nama wanita Indonesia. Adalah perwujudan dari asosiasi ini.

Selain simbolisme di atas, pandangan terhadap gema suara alam itu berkembang lagi ke arah asosiasi antara warna, lagu, dengan perasaan. Perkembangan onomatopoeia yang mengasosiasikan warna dan lagu dengan perasaan itu sangat bermanfaat dalam sistem pengetahuan cahaya, warna kostum lagu-lagu pengiring dalam pementasan seni, drama, dan tari.

Di lain pihak, dalam mempertahankan pendiriannya, kubu thesis mengutarakan bukti-bukti bahwa nama yang diberikan oleh manusia kepada benda-benda disekitarnya tidak menurut kaidah tertentu, misalnya, menurut kaidah asosiasi antara nama benda dengan suara alam.

Kedua, kontroversi yang kedua terjadi sekitar abad ke-4 sebelum Masehi antara penganut faham Analogi dan penganut faham Anomali. Dalam bidang linguistik, kaum analogi percaya bahwa bahasa itu tertata menurut aturan yang pasti. Keteraturan bahasa, menurut aliran analogi, terdapat pada semua aspek; aspek fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantic.

Di pihak lain,dalam bidang linguistic, para pengikut anomaly menyatakan bahwa sunggu sangat keterlaluan orang yang percaya bahwa bahasa itu tertata menurut susunan yang teratur. Banyak contoh yang dapat membuktikan bahwa bahasa itu tidak teratur. Menurut kaum anomalis, keteraturan yang ada dalam bahasa itu sebenarnya hanyalah sebagian kecil saja dari ketidakketeraturan.

Ketiga, Kontroversi yang ketiga timbul pada jaman Renaissance, antara para penganut empirisme dan para penanut rasionalisme. Kaum empiris percaya bahwa jawa manusia itu mempunyai kemampuan, tetapi kita tidak tahu banyak tentang kemampuan itu. Mereka menganggap bahwa jiwa manusia itu seperti kertas kosong yang dalam istilah mereka yang sangat terkenal itu sebagai ‘tabula rasa’. Sebelum jiwa manusia melakukan kegiatan, manusia tidak mempunyai apa-apa. Dalam bahasa Latin ucapan mereka yang sangat terkenal ialah ‘Nihil estis intellectu, quod non prius tuerist in sensus’. Dalam bahasa Indonesia ucapan di atas artinya kurang lebih ‘Jiwa kita ini kosong sebelum ada rangsangan lewat indera kita’. Dalammasalah bahasa, kaum empiris percaya bahwa bahasa itu dipelajari dari lingkungan sekitar. jadi, bahasa itu pada hakekatnya, menurut mereka, learned ‘dipelajari’.

Di pahak lain, kaum rasionalis menyangkal bahwa bahasa itu didapat dari lingkungan. Sebaliknya, mereka percaya bahasa itu sudah ada dalam jiwa manusia seagai pembawaan yang dalam istilah bahasa Inggris disebut innate.

Kontroversi yang sempat kita amati dewasa ini aialah kontroversi linguistic dalam abad ke-20, yaitu antara paham strukturalisme dan para Cartesian Modern dengan Gramatika Transformasi Generatifnya.

Strukturalisme dalam linguistic biasanya dikaitkan dengan nama Ferdinand de Saussure. Bahkan ada mengatakan bahwa de Saussure adalah bapak aliran Strukturalisme dalam bidang kebahasaan. Cara de Saussure mengutarakan gagasan dalam linguistic diwarnai dengan dikotomi-dikotomi.

Dikotomi yang pertama, ialah dikotomi antara diakronik dan sinkronik. Kata diakronik berasal dari bahasa Yunani dia- yang artinya sepanjang, dan kata chronos yang berarti waktu. Jadi diakronik berarti sepanjang waktu. Dalam linguistic, diakronik berarti studi bahasa dari waktu ke waktu. Sementara itu kata sinkronik juga berasal dari bahasa Yunani. Kata syn- berarti bersama. Kata sinkronik berarti bersama dalam satu waktu. Dalam istilah linguistic, kata singkronik berarti studi tentang kebahasaan untuk waktu bersamaan. Dengan demikian, menurut da Saussure, bahasa itu dapat dilacak dari waktu ke waktu dan dipelajari untuk satu jangka waktu tertentu.

Dikotomi yang kedua, ialah dikotomi antara langue dan parole. Menurut de Saussure, langue adalah sistem bahasa dalam konteks sosial. Dengan demikian, bahasa adalah sistem lambang bersifat arbiter yang menjadi berfungsi hanya dalam lambang sosial.

Di lain pihak, parole, atau tindak bicara, ialah manisfestasi pribadi, bagian dari sitem sosial dari sistem sosial tertentu.

Dikotomi yang ketiga, ialah dikotomi antara signifiant dan signifie. Signifiant ialah bentuk bahasa yang terkandung dalam sekumpulan fonem. Sementara itu, signifie diartikan sebagai kandungan mental atau citra mental suatu bahasa. Citra mental suatu bahasa itu tidak lain ialah makna yang dimaksudkan.

Dikotomi yang keempat, ialah dikotomi antara mental dan fisik. Dari segi mantal, bahasa merupakan suatu totalitas pikiran dalam jiwa manusia. Dipandang dari segi fisik, bahasa adalah getaran udara yang lewat suatu tabung dalam alat bicara manusia. Karena mental dan fisik manusia itu jadi satu, bahasa merupakan pertemuan antara totalitas pikiran dalam jiwa dan getaran yang dibuat manusia alat-alat bicaranya.

Dikotomi yang kelima, ialah dikotomi antara bentuk dan substansi. Bentuk diartikan semacam sistem posisi dalam istilah linguistic. Menurut de Saussure, bukan substansi melainkan bentuklah yang relevan dengan suatu sistem suatu bahaa, karena nilai satuan linguistic itu ditentukan oleh posisinya, bukan oleh substansinya.

Dikotomi yang keenam, ialah dikotomi antara hubungan paradigmatik dan hubungan sintakmatik. Hubungan paragmatik ialah hubungan derivatif atau infleksi serangkaian bentuk jadian dengan bentuk dasar dari unit bahasa; sedangkan sintagmatik ialah hubungan yang diperoleh jika satuan-satuan diletakan bersama dalam satu tindakan bicara.

Kontroversi dalam linguistic yang sekaang ini sedang kita amati di Indonesia ialah kontroversi yang percaya bahasa itu mempunyai fungsi transaksional dan kelompok yang percaya bahwa bahasa itu mempunyai berfungsi interaksional. Bagi para penganut transaksional, fungsi bahasa yang penting ialah daya penyampai yang terkandung dalam kalimat atau ujaran. Kelompok ini percaya bahwa satuan bahasa yang terkecil ialah kalimat, sebab kalimat itu berisi pesan yang dianggap lengkap. Siapa yang menerima pesan tidaklah penting. Agar pesan dapat diterima tanpa salah, kalimat haruslah jelas, seperti jelasnya kalimat yang diciptakan oleh seorang penutur yang ideal, tanpa cela.

Sebaliknya, kelompok yang percaya bahwa bahasa itu berfungsi interaksional beranggapan bahwa bahasa hanyalah sekedar alat untuk berkomunikasi antar anggota osial. Kelompok ini mempertahankan pentingnya hubungan sosial, sebab interaksi antar manusia itu sebenarnya merupakan kebutuhan dasar tingkat tinggi bagi manusia. Para analis bahasa yang percaya bahasa bahwa bahasa itu sebagai fungsi interaksional lebih mementingkan bahasa lisan, sedang para penganut transaksional lebih terkait pada bahasa tulisan.

Kegiatan bernalar dan berolah pikir dalam argumentasi yang sehat terpupuk dan selalu mendapatkan siraman air yang menyegarkan. Kehidupan akademik yang demikian itulah yang bisa melahirkan ilmuan-ilmuan besar dan innovator-inovator yang bermutu dalam bidang teknologi.

Referensi
Wahab, Abdul. (1991). Isu linguistik pengajaran bahasa dan sasra. Surabaya: Airlangga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *