Isu Pengajaran Bahasa Inggris di Sekolah Dasar

Posted on
Semenjak kemerdekaan Indonesia pelajaran bahasa Inggris sudah diajarkan di Indonesia dan masuk dalam kurikulum sekolah dasar (SD). Dengan berjalannya waktu hingga sekarang pelajaran bahasa Inggris di SD masih menjadi muatan lokal. Hal ini dikarenakan masih sebagian kalangan menolak adanya pembelajaran bahasa Inggris di level rendah atau bahkan pada taman kanak-kanak dengan berbagai macam alasan. Sebagian alasan besar penolakan pengajaran bahasa Inggris ini memang benar. Namun kemauan sebagian kalangan masyarakat lain yang ingin pula pelajaran bahasa Inggris dimasukan kedalam kurikulum sekolah dasar juga tidak bisa diabaikan. Hal ini dikarenakan sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa pentingnya selebih awal anak-anak sudah mempunyai pengetahuan mengenai bahasa Inggris. Sebab, bahasa Inggris adalah salah satu bahasa yang mempunyai pengaruh besar dalam pergaulan dunia. Sehingga pengajaran bahasa Inggris lebih awal harus sudah diperkenalkan kepada anak-anak SD.

Pengajaran bahasa Inggris pada anak-anak SD seharusnya memperhatikan aspek-aspek khusus dalam pembelajaran. Ini sejalan dengan pandangan Alwasilah (1997: 91) bahwa: Pertama, anak-anak masih dalam tahap mempelajari konsep ruang dan waktu. Mereka masih belajar mengklasifikasikan dan menghubungkan benda-benda nyata yang ada disekitar. Mereka masih belum mampu berpikir abstrak. Guru disarankan untuk banyak menggunakan media: visual, gambar, dan objek nyata agar kelas lebih hidup. Guru bahasa Inggris harus realistis. Jangan berharap mereka dapat melakukan sesuatu dalam bahasa Inggris, bila merasa masih tidak dapat melakukannya dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah.

Kedua, anak-anak senang belaja melalui kegiatan, misalnya dengan bermain peran. Lebih-lebih dengan pakaian warna-warni yang mendukung peran yang dimainkannya. Dengan, bermain peran, mereka belajar bahasa dengan menggunakannya, yakni dengan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa target. Inilah yang dimaksud dengan pengajaran bahasa melalui pendekatan terpadu atau whole language approach. Bahasa diajarkan secara integrative, dengan criteria kebermaknaan (meaningfulness). Tidak ada keterampilan bahasa yang diajarkan secara mandiri dan terceraikan dari keterampilan lainnya.

Ketiga, bila dimotivasi anak-anak akan belajar dengan baik. Misalnya dengan menyajikan kegiatan yang menarik minat mereka, dengan melihat hasil kerja yang memperlihatkan prestasi mereka; dan dengan melibatkan mereka dalam kegiatan yang relevan bagi mereka. Karena itu, tunjukanlah prestasi mereka, misalnya gambar yang mereka buat. Dan manfaatkanlah minat, pengalaman, latar belakang, dan lingkungan. Anak-anak akan kehilangan semangat belajar, bilamana tugas yang diberikan tidak menarik atau terlalu sulit. Karena itu, upayakan agar tugas-tugas di kelas ada dalam jangkauan kemampuan mereka.

Keempat, bentuk respond siswa berbeda-beda. Pemahaman mereka terhadap sebuah stimulus (baca: ujaran) dari guru bisa tampak melalui isyarat atau kegiatan yang dilakukannya. Karena itu, guru jangan hanya mengharap respon lisan dari anak-anak. Jangan memaksa mereka untuk segera berbicara sebelum mereka siap untuk itu. Di dalam pemerolehan bahasa ib, kita tidak perna memaksakan anak-anak untuk berbicara sebelum waktunya. Mereka adalah pendengar dan peniru yang baik. Manakala sudah tiba saatnya, mereka akan berbicara dengan sendirinya tanpa paksaan dari siapapun. Demikian pula dalam mempelajari b ahasa asing.

Baca: Era Metode Pengajaran Bahasa Asing

Kelima, mereka tidak dapat berkosentrasi lama. Kegiatan belajar bahasa harus singkat-singkat dan beragam dari waktu ke waktu, agar mereka tetap tertarik. Bila mereka kehilangan minat, mereka akan berhenti belajar. Karena itu, guru harus selalu memantau suasana kelas, kapan setiap kegiatan harus dihentikan dan digantikan dengan kegiatan lain. Guru tidak perlu ragu untuk membiarkan mereka bergerak leluasa dan dari waktu ke waktumengubah posisi tempat duduk siswa. Dalam kelas bahasa, sebaiknya mereka saling berhadapan, dan sering bergantianpasangan bermain peran dan teman sebangku.

Referensi
Alwasilah, A. Chaedar. (1997). Politik bahasa dan pendidikan. Bandung: PT. Remaja Karya Bandung.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *