Imperialisme Bahasa dan Budaya

Posted on
Pasca perang dunia II, bermunculanlah sejumlah negara merdeka setelah sekian lama dicengkram imperialisme bangsa-bangsa Eopa (penjajah – red). Tugas pertama tentunya mengatur pemerintahan sendiri, yang banyak hal belum siap. Salah satu alat untuk menjalankan pemerintahan ini adalah bahasa.Bahasa mana yang akan dipakai? Bahasa Daerah, Nasional, ataukah Kolonial? Karena penggerak roda (birokrat) pemerintahan itu umumnya hanya segelintir bumi putera yang berpendidikan Barat (colonial) masih tetap jadi kerangka rujukan dalam bertatanegara. bahkan setelah setengah abad merdeka, banyak negara yang belum mampu mengganti peraturan atau undang-undang warisan colonial. Sebagai contoh, simak saja KUHP warisan Belanda di Indonesia. Dengan kata lain, sampai kini, imperialism Barat itu masih tetap bercokol.

Modernisasi

Bagi negara dunia ketiga, mengisi kemerdekaan hampir identik dengan modernisasi, yaitu proses pembangunan, transisi dari tradisional menuju tahap aplikasi prinsip-prinsip modern dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial. Dikotomi tradisional-modern lebih tepat digambarkan sebagai garis kontinum dan berwujud dalam tata nilai, tata sikap, dan tata laku. Karena imperialism  Erops pada hakikatnya “pemaksaan” tata nilai, tata sikap, dan tata laku Eropa pada dunia ketiga, maka pasca-PD II modernisasi di Dunia ketiga hampir identik dengan westernisasi.
Mendiang perdana Menteri Nehru perna berujar, it’s absolutely to me, and it’s not an arguable matter that the scintifict and technological training has to be given in English. You will not get through your plam if you do not do it. It is an absolutely necessity”. Diakui atau tidak, pandangan ini masih tetap relevan bagi negara-negara berkembang. Diperkirakan, 400 tahun lalu, penutur bahasa Inggris hanya lima sampai tujuh juta penutur asli. Saat ini bahasa Inggris digunakan oleh lebih dari 315 juta penutur asli. Ditambah 300 dan 100 juta penutur bahasa Inggris sebagai bahasa kedua dan bahasa Asing (Crystal: 1985). Angka ini pasti terus membengkak.

Imperialisme Linguistik

Dipertahankannya bahasa colonial ini adalah bukti tidak berdayanya negara dunia ketiga melawan penjajahan cultural dalam berbagai wujudnya: film, Tv, periklanan, diplomasi, sampai persyaratan pendidikan internasional seperti TOEFL dan GRE. Untunglah Indonesia memiliki bahasa Nasional yang juga sebagai bahasa resmi dan bahasa negara sebagaimana dikukuhkan dalam UUD 1945. Banyak negara baru seprti India, Filipina, Nigeria, dan Zaire yang belum memiliki bahasa resmi sendiri. Inlah wujud imperialism linguistic, yaitu dipertahankannya bahasa colonial baik secara struktural maupun cultural. Secara cultural mengacu pada pemakaian bahasa colonial dalam entitas material seperti mekanisme antar lembaga pemerintahan. Secara cultural mengacu pada pemakaian bahasa kolonial dalam intitas immaterial dan idieologis seperti sikap bahasa dan pendidikan, seperti diikrarkan Nehru di atas.
Untuk mengantisipasi abad ke-21, kita telah mempersiapkan kurikulum 1994 sebagai pengejawantahan UU Sitem Pendidikan Nasional, yang memungkinkan pengajaran bahasa Inggris di SD. Lagi-lagi kita menydari pentingnya menguasai bahasa colonial sebagai alat pemerolehan iptek da pembangunan bangsa. Harus kita akui bahwa pada 17 agustus 1945 kita mendeklamasikan kemerdekaan politik. Namun, secara linguistic dan cultural, kita belum terlepas dari penjajahan bangsa Eropa. Ternyata revolusi fisik jauh lebih singkat daripada revolusi kebudayaan, yang terus berlangsung.
Mengapa? Sebab kegemilangan fisik sebagai performansi lahir sebenarnya hanyalah realisasi dari kekuatan atau kompetensi batiniah, yakni jati diri bangsa dalam penalaran. sikap, dan tingkah laku. Singkatnya, jati diri itu berupa kebudayaan nasional. Bila benteng pertahanan nasional batiniah belum kuat, pola piker dan paradigm cultural kita akan tetap akan jadi koloni cultural bangsa lain. Para pendahulu kita, khususnya pejuang Angkatan ’45, telah berhasil menghalau penjajah secara fisik. Namun sampai sekarang, penjajahan cultural melalui bahasa asing justru semakin kokoh, berkat revolusi teknologi informasi.

Nasionalisme

Nasionalisme adalah sikap kolektif suatu bangsa yang disimbolkan ewat lagu kebangsaan, lagu-lagu perjuangan, monument-monumen historis, pengangkatan pahlawan nasional, penetapan lambang neeggara, bahasa negara, dan sebagainya. Sikap demikian berperan sebagai kerangka acuan dalam kehdupan bernegara. Maka disusunlah UUD, UU, Keputusan Presiden, peraturan, keputusan, dan peraturan-peraturan lain yang berfungsi ganda, yaitu sebagai penerjemah nilai-nilai nasionalisme yang masih abstrak, dan sebagai rambu-rambu operasional dalam mengatur kehidupan bernegara.
Mengapa dahulu imperialism politik (fisik) dapat dihalau? mengapa kini imperialism bahasa dan cultural masih terus terus berlangsung? Karena sebagai bangsa, saat itu kkuatan linguistic dan cultural kita belum sehebat kekuatan fisik. Waktu pena cultural tidak setajam bamboo runcing. Persada basah dengan darah para pejuang, tapi masih kering dengan tinta para ilmuawan. Perjuangan kemerdekaan dalam konteks sekarang ini adalah perjuangan menguasai pengetahuan teknologi, yakni dengan menerjemahkan simbol-simbol nasionalisme ke dalam entitas dan prestasi kebernalaran, pengetahuan dan teknologi.
Pertanyaan selanjutnya, cukup tangguhkah nasionalisme kita ini untuk berlaga melawan penetrasi dan imperialism budaya liberal? Di lain pihak kita ingin “mencuru” teknologi barat, di lain kita tidak mau nilai-nili kultur kita dikotori budaya liberal. Pemerintah sering memperingatkan kita untuk tidak terpengaruh budaya aliberal dalam mengeluarkan pendapat, berdeemokrasi, dan mengartikan keterbukaan. Simak saja ihwal pembredelan Tempo, Editor, dan DeTik.
Pemerintah tampak “takut” oleh budaya liberal. Sementara itu Indonesia adalah satu-satunya negara di kawasan ASEAN yang membolehkan perseorangan memiliki antena parabola (suara pemberuan, 6 agustus 94). Hebat bukan! jadi, sebenarnya pemerintah sendiri yang membangun pintu gerbang budaya liberal di rumah-rumah penduduk. Apa ini tidak ironis? sifat konsumtif, hedonism, dan kekerasan diturkan lewat TV scara terus-menerus pada anak-anak. Sementara P4 terus dimasyarakatkan, film, video, laser disk, dan lain-lain pun terus merusak mengobrak-abrik peta kognitif cultural bangsa. Jangan-jangan pemerolehan teknologi ini akan dibayar mahal dengan lunturnya symbol-simbol kultural Pancasila dan UUD 1945.

Peran Pedidikan

Hancurnya Uni Sovyet dan runtuhnya Tembok Berlin membuktikan keunggulan Amerika dalam perang informasi melawan Blok Timur. Informasi dikemas sedemikian rupa, sehingga sedikit demi sedikit, pembaca, pendengar, dan pemirsa di Blok Timur dibuat sangsi terhadap moral dan ideologi sendiri. Ini pelajaran berharga bagi kkta, bahwasannya mental ideology Pancasila ini sekarang bertarung melawan ideologi liberal. Dan pertarungan ini di rumah sendiri. Mampukah kitaa menangkalnya sepatriotik para ejuang Angkatan ’45 dahulu?
Pada akhirnya, pendidikanlah tumpuan harapan kita. Perlu kearifan dalam mengambil langkah-langkah kurikuler. Bahasa-bahasa asing seperti Inggris, Jepang, Jerman, Prancis, dan Mandarin sudah menjadi bahasa teknologi. Penguasaan bahasa-bahasa ini oleh para mahasiswa sangat mendukung pemerolehan teknologi. Bersamaan dengann penguasaan bahasa asing, rasa kebangsaan serta pemahaman nilai-nilai P4 dan UUD 1945 dan agama Perlu ditanamkan dalam seluruh sistem pendidikan nasional untuk menangkal budaya liberal. Para pelaku bisnis informasi, khususnya media elektronik, Perlu menyadari tanggung jawab moral dan edukasional dari setiap tayangan program, dan tidak hanya memikirkan keuntungan finansial (Media Indonesia, 3 September 1994).
Baca: Dampak Negatif Bahasa yang Tidak Dipertahankan
Reference
Alwasilah, A. Chaedar. (1997). Politik bahasa dan pendidikan. Bandung: PT. Remaja Karya Bandung.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *