Wacana merupakan rangkaian ujaran yang untuh pada suatu tindak komunikasi yang teratur dan sistematis yang mengandung gagasan, konsep, atau efek yang terbentuk pada konteks tertentu (Foucault, 1972:48-49). Setiap tindak komunikasi merupakan bagian dari wacana, karena komunikasi melibatkan penyampai pesan, penerima pesan, dan pesan atau kesatuan makna yang untuh yang ingin disampaikan.
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu “buddhayah”, yang merupakan bentuk jamak dari “buddhi” (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut “culture”, yang berasal dari kata Latin “colere”, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.
Budaya merupakan suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok yang diwariskan secara turun-temurun oleh generasi-generasinya. Budaya terbentuk berbagai unsur yang kompleks, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.
Wacana sebagai salah satu disiplin ilmu dalam linguistik mengkaji penggunaan bahasa dalam suatu tindak komunikasi baik lisan maupun tulis. Keberadaan wacana tidak dapat dipisahkan ilmu yang lain baik unsur internal maupun eksternal linguistik termasuk kebudayaan. Dalam mengkaji hubungan wacana dan kebudyaan, Duranti (1997:23-50) menjabarkan beberapa teori kebudayaan yakni: kebudayaan sebagai pembeda alami, kebudayaan sebagai pengetahuan, kebudayaan sebagai komunikasi, kebudayaan sebagai alat mediasi, kebudayaan sebagai sistem praktek, dan kebudayaan sebagai sistem partisipasi.
1. Pengetahuan sosial budaya dalam inferensi percakapan
Wacana dan budaya dapat melihat bagaimana suaut percakapan yang timbul di masyarkat. Suatu tindak tutur selalu melibat sosial budaya yang melatar belakanginya yakni di dasarkan pada: latar belakang pengetahuan, sikap terhadap orang lain terkaait dengan nilai, tidak ada sistematika yang menunjukan pengetahuan sosial, dan mempengaruhi unsur konteks ekstralinguistik lainya (Gumperz, 1982:153).
Inferensi percakapan berarti adanya pertukaran nilai antar penutur yang berdasarkan pada konteks tertentu. Inferensi percakapan menggambarkan bagaimana seseorang menafsiran percakapan orang lain dan melakukan respon terhadap percakapan tersebut baik verbal maupun non verbal.
Fairclough menjabarkan untuk memahami (naskah/teks) tak dapat melepaskan dari konteksnya. Untuk menemukan ”realitas” di balik teks kita memerlukan penelusuran atas teks, produksi teks, dan kondisi sosial budaya yang mempengaruhi pembuatan teks.
2. Komunkiasi antar etnis
Komunikasi antar etnis (interethnic communication) adalah komunikasi yang terjadi antara kelompok orang yang ditandai dengan bahasa dan asal-usul yang sama. Oleh karena itu komunikasi antar etnik juga merupakan bagian dari komunikasi antar budaya sebagaimana juga komunikasi antar ras, komunikasi antar agama dan komunikasi antar gender. Dengan kata lain, komunikasi antar budaya lebih luas dari bidang-bidang komunikasi yang lainnya (Gumperz, 172)
Selain itu, komunikasi antar etnik ini terjadi pada sekelompok orang yang ditandai dengan ciri-ciri biologis yang sama. Secara teoritis 2 orang dari ras berbeda boleh jadi memiliki budaya (terutama ditandai dengan bahasa dan agama) yang sama. Kalaupun kedua pihak yang berbeda etknik sejak lahir diasuh dalam budaya yang sama, potensi konflik tetap ada dalam komunikasi mereka, mengingat pihak-pihak bersangkutan menganut stereotip-stereotip tertentu (biasanya negatif) mengenai mitra komunikasinya yang berbeda ras itu.
Komunikasi antar etnis seringkalit tidak terhindarkan terutama di negara yang terdiri dari berbagai entis seperti Indonesia. Komunikasi antaretnis yang terjadi berupa kebudayaan yakni mengalami kesulitan untuk membiasakan diri dengan etos kerja dan karakter peserta-peserta antar etnis. Sebagai contoh etnis Batak harus memperhatikan pilihan kata dan membiasakan untuk bicara lebih lembut dan pelan. Peserta yang berasal dari suku bangsa Batak dan suku bangsa Ambon cenderung memiliki intonasi suara lebih tinggi dan besar. Peserta dari Indonesia Timur terbiasa berbicara dan bekerja langsung apa adanya (straight to the point). Peserta dari Palembang identik suka marah-marah. Adapun cara mengatasinya dengan membiasakan diri, bersabar, beradaptasi serta mencoba memahami budaya orang lain.
3. Wacana, Perubahan, dan Hegemoni
Hegemoni juga dapat diartikan sebagai uapaya dalam melakukan penindasan di masyarkat melalui media oleh kelompok penguasa. Terkait dengan wacana, perubahan, dan hegemoni secara umum dapat dibagi menjadi dua yaitu pada tataran makro dan mikro. Tataran makro berarti melihat pada ranah kekuasaan, pemerintah, dan politik. Pada tataran hegemoni berasal bahasa Yunani, egemonia yang berarti penguasa atau pemimpin (Hendarto, 1993:73). Pengertian hegemoni adalah bentuk penguasaan terhadap kelompok tertentu dengan menggunakan kepemimpinan intelektual dan moral secara konsensus. Artinya, kelompok-kelompok yang terhegemoni menyepakati nilai-nilai ideologis penguasa. Pada tataran mikro yakni pada ranah praktek wacana dengan cara penggunaan konsep “teknologisasi dari wacana” (Fairlough, 1995:91). Praktik hegemoni yakni bagaimana ia menciptakan cara berpikir atau wacana tertentu yang dominan, yang dianggap benar, sementara wacana lain dianggap salah. Misalkan wacana yang dominan yakni buruh yang melakukan demonstrasi selalu dipandang tidak benar merupakan wujud hegemoni yang dicipatkan oleh media.
Ada hubungan ganda dari wacana untuk hegemoni. Wacana mengimplikasikan penyerapan tuturan dan tulisan yakni reproduksi dan negosiasi hubungan kekuasaan dan dalam proses ideologi dan perjuangan ideologi. Selain itu, wacana itu sendiri bagian dari budaya hegemoni, dan kelas dan kelompok hegemoni meliputi semua masyarakat dan semua sektor yang khusus (saat sekarang ini, hegemoni dalam skala antarbangsa).
Pendekatan kritis analisis wacana ini diadopsi dan berdasarkan pada tiga konsep dimensi dari wacana dan berkoreesponden dengan 3 dimensi metode dari analisis wacana yiatu: 1) teks bahasa baik lisan maupun tulis, 2) praktek wacana (produksi teks dan intpretasi teks), dan 3) praktek sosial kebudayaan.
Teknologisasi wacana merupakan proses dari intervensi (campur tanggan) dalam lingkungan praktek wacana dengan tujuan membangun hegemoni baru di urutan wacana institusi atau organisasi yang bersangkutan, sebagai bagian dari perjuangan yang umum untuk memaksakan hegemoni direstrukturisasi pada praktek-praktek institusi dan budaya. Selain itu, Teknologi wacana secara spesifik disebut sebagai ’the technologies of government’ oleh Rose and Miller yakni ‘strategi, teknik dan prosedure dengan cara kekuatan yang berbeda berusaha untuk mengoperasikan program, jaringan, dan yang berhubungan dengan menyampaikan aspirasi dari otoritas (penguasa) dengan kegiatan individu dan kelompok.
Contoh Hegemoni dapat dilihat pada taglin Universitas Telkom “Creating The future” yang berusaha disampaikan kepada khaylak umum. Hegemoni ini dapat diartikan bahwa Universitas Telkom menghasilkan lulusan-lulusan yang dapat menciptakan masa depan yang lebih baik dan dapat bersaing di skala nasional dan internasional. Telkom juga mengasmusikan diri mampu menghasilkan lulusan-lulusan yang memiliki masa depan dan inovatif, Universitas Telkom sangat memperhatikan kemampuan bahasa Inggris mahasiswanya. Selain itu juga seabgai wujud keseriusan Universitas Telkom untuk menjadi world class university melalui ilmu pengetahuan dan seni yang berbasis teknologi.
4. Teori Kebudayaan Menurut Duranti
1) Kebudayaan sebagai pembeda alami
Kebudayaan membedakan secara alami antara manusia dengan hewan. manusia melalui proses belajar selama hidupnya dan mengunakan pengetahuannya untuk berinteraksi dengan sesamanya. pengetahuan yang dimiliki manusia akan diturunkan secara turun temurun melalui bahasa kepada generasi penerus. Bahasa sebagai salah satu bagian dari kebudayaan memiliki peran untuk membedakan keyakinan atau praktek budaya dalam berbagai kelompok masyarakat yang memiliki tingkat diversitas.
2) Kebudayaan sebagai pengetahuan
Selain kebudayaan itu dipelajari, kebudayaan juga dihayati bersama dalam pola pikir tertentu, cara memahami dunia, membuat kesimpulan dan prediksi. Untuk mengetahui kebudayaan perlu juga mengetahui bahasa. Jadi memaparkan kebudayaan juga seperti memaparkan bahasanya atau dikenal sebagai “tata bahasa budaya”. Dalam pandangan kognitif budaya, pengetahuan meliputi dalil (“pengetahuan-tentang”) dan prosedur (“pengetahuan-bagaimana”).
3) Kebudayaan sebagai komunikasi
Kebudayaan dilihat sebagai sistem tanda. Kebudayaan menggambarkan cara pandang melihat dunia dan dinyatakan melalui cerita, mitos, deskripsi, teori, peribahasa, karya seni dan pertunjukkan. Levi Strauss berpendapat bahwa semua kebudayaan adalah sistem tanda dalam kategori oposisi biner. Lalu ia juga memiliki teori segitiga kuliner untuk menggambarkan transformasi alami suatu budaya. Clifford Geertz menekankan pada berulangnya proses penerjemahan pengalaman manusia. Michael Silverstein melihat kekuatan komunikasi budaya pada hubungan antara individu, kelompok, situasi, dan objek dalam konteksnya. Komunikasi budaya juga diturunkan dalam bentuk metafora sebagai cara untuk mengelola sosial dan lingkungan alam.
4) Kebudayaan sebagai alat mediasi
Alat (termasuk bahasa) dan artefak merupakan mediasi antara manusia dengan lingkungan. Alat secara definisi adalah objek mediasi, objek yang ada di antara pengguna dan objek yang dikerjakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Marx “instrument of labor”. Dalam padangan “instrument of labor”, siapapun manusia menggunakan objek untuk mengontrol lingkungan dan menghasilkan sumber daya. Secara definisi, instrument seperti itu selalu “di antara”. Mereka ada di antara manusia dan makanannya, contohnya garpu, orang dan cuaca (payung). Orang dan benda fisik (kapakdigam), orang dan orang lain (gesture, ujaran), orang dan pikiran pribadi (tuturan pribadi, repsentasi mental).
Budaya mengorganisasikan penggunaan alat untuk aktivitas tertentu, seperti berburu, memasak, bangunan, perang. Mengingat masa lalu dan merencanakan masa depan. Hubungan kita dengan dunia tidak selalu melalui mediasi. Contohnya jika saat hujan dan kita sedang duduk di taman sehingga kehujanan dan menjadi basah, hubungan kita dengan alam menjadi lebih langsung (less direct, less mediated) (kita tetap memiliki baju dan fikiran). Jika kita mengeluarkan payung, kita mencoba mengontrol impact sebagian badan kita, kita memodifikasi konsekuensi potensial dari fenomena alam untuk menyesuaikan dengan keterbatasan kita. Dalam kasus ini, hubungan kita dengan alam dimediasi melalui alat tertentu, payung, dalam hal ini, merepsentasikan budaya. Ada dua kemungkinan dalam pengalaman manusia, secara langsung atau dimediasi dapat digambarkam melalui segitiga berikut. (lihat Vygotsky 1978:54).
Alat sebagai mediator alternatif antara manusia dan lingkungan
Model ini mengikutsertakan kemungkinan objek budaya material, seperti payung, dan objek budaya non material atau ideasional seperti simbol, sistem kepercayaan, kode lingusitik – penggunaan garis putus2 untuk merepsetasikan hubungan antara manusisa dan lingkungan masih diliputi ketidakpastian mengenai realitas empiris seperti adanya hubungan yang tidak dimediasi. Contoh hubungan kita dengan alam, hujan termasuk, dapat dimediasi dengan teori hujan jatuh – apakah hujan baik atau buruk, hujan merupakan tanda komunikasi dari Tuhan – pengabulan? Tanda garis tanpa putus2 menandakan hubungan yang dimediasi sebagai alternatif dari hubungan tanpa mediasi dengan lingkungan (garis putus2). Kita dapat meminta seseorang untuk keluar dari ruangan dengan mengggunakan tangan atau lengan, atau dengan menggunakan simbol “no visitor” atau memintanya untuk pergi. Ketika kita menggunakan tubuh kita untuk mencapai tujuan, hubungan kita dengan “penganggu” tidak secara langsung dimediasi oleh budaya. Tapi ketika menggunakan simbol, hal itu berarti dimediasi.
5) Kebudayaan sebagai sistem praktek
Bourdieu mengenalkan tentang habitus yaitu sistem kecenderungan dilihat dari dimensi sejarah bahwa pemula yang mencapai kompetensi dengan menjalankan aktivitas, mereka akan mengembangkan harapannya tentang dunia dan cara untuk mencapainya. Pendekatan ini menekankan pentingnya bahasa sebagai sistem yang aktif didapatkan melalui proses sosial politik, termasuk bikrokrasi seperti sekolah.
6) Kebudayaan sebagai sistem partisipasi
Ide ini berhubungan dengan kebudayaan sebagai sistem praktek yang melekat dengan sosial, kebersaman dan kualitas partisipasi. Di sini khususnya penggunaan bahasa sebagai cara berpartisipasi di dalam interaksi untuk mendapatkan informasi, memecahkan masalah dan berbagi informasi.
Referensi
- Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. New York: Cambridge University Press.
- Foucault, M. 1972. The Archeology of Knowledge and The Discourse on Language. London: Tavistock Publication.
- Gumperz, John J. 1982. Discourse Strategi. New York: Cambridge University Press.
- Fairclough, Norman. 1995. Critical discourse analysis: the critical study of language. London: Longman Publishing.