Tulisan ini adalah sebuah makalah yang ditulis oleh Dr. Abdul Wahab, MA dalam Bukunya Isu Linguistik Pengajaran Bahasa dan Sastra yang menyajikan ergumentasi bahwa penting sekali bagi para guru bahasa asing selalu mengikuti perkembangan teori yang ada dalam dunia linguistik agar mutu pengajarannya lebih baik.
Kita tidak dapat mengingkari bahwa dalam dunia akademi ada penurunan secara mencolok tentang hasil penajaran bahasa asing (atau barangkali juga pengajaran matapelajaran-matapelajaran yang lain). Sadtno (dalam Dina feitelson, ed. 1976) yang di kutip oleh Wahab (1991: 112) menyatakan bahwa justru pada zaman pemerintahan Belanda, pengajaran bahasa asing (bahasa Belanda dan bahasa Inggris) itu dikatakan berhasil, artinya, tamatan SLTA mampu berbahasa asing (terutama bahasa Belanda dan bahasa Inggris)secara baik dan benar baik secara lisan maupun secara tulisan.
Kita menyadari bahwa keberhasilan kegagalan belajar mengajar bahasa itu terletak pada banyak faktor seperti meted mengajar, bahan pengajaran, motivasi para siswa, dan kualitas guru-guruna. sebagian besar usaha untuk memperbaiki mutu nelajar mengajar bahasa asing di Indonesia sampai dewasa ini dipusatkan pada perbaikan kurikulum, termasuk metodologi, dan bahan pengajaran.
Di antara para pakar linguistik sendiri yang tidak setuju tentang adanya peranan teori linguistik dalam pengajaran bahasa ialah Robert Stockwell dan Sol Saporta. Stockwell (dalam james E. alatis (ed) 1968) yang diktip oleh Wahab (1991: 113) menyatakan bahwa hubungan antara teori linguistik dan pengajaran bahasa lebih merupakan hubungan tidak lansung. Lebih jauh ia menyatakan bahwa jika seandainya ada disiplin ilmu “linguistik terapan dalam bidang pengajaran bahasa, maka tujuan disiplin ini haruslah mampu membentangkan dengan jelas hubungan yang abstrak serta tidak langsung ini.
Stockwell mempertahankan bahwa seberapa jauh seorang linguist dapat memanfaatkan teori linguistiknya itu dalam bidang pengajaran sungguh masih merupakan teka-teki. Beberapa pengamat mengatakan bahwa para pakar linguistik itu sudah bergerak terlampau jauh dari masalah pengajaran bahasa. Pengamat yang lain mengatakan bahwa linguistik tidak memberikan apa-apa kepada perkembangan metodologi pengajaran bahasa. Lebih jauh Stockwell mengatakan bahwa para linguist itu “menyembunyikan mukanya” dengan cara menyibukan diri pada masalah generative transformational grammar.
Wahab (1991: 114) menyatakan bahwa masih ada perlunya para guru bahasa asing memiliki dan mengikuti perkembangan yang terjadi dalam ilmu lnguistik. Untuk mendukung keyakinan ini, akan menyajikan pentingnya mempelajari dan menerapkan teori ”implicature”, yang diperkenalkan oleh H. P. Grice (dalam Levinson, 1983) yang pada saat ini merupakan sesuatu baru di Indonesia.
Teori Grice ini, yaitu teori konsep “implikature” yang dikembangkannya itu, pada dasarnya ialah teori teentang bagaimana orang menggunakan bahasa. Pikiran Grice itu didasarkan pada asumsi yang mendasari orang yang sedang mengadakan percakapan. Asumsi inilah yang memberikan tuntunan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam percakapan yang penuh dengan cara yang efektif dan efisien dalam suatu percakapan yang penuh dengan semangat kerja-sama (antara penutur dan pendengar) prinsip-prinsip yang dikemukakan Grice dalam teori “implicature”nya yang dikutip oleh Wahab (1991: 114), yaitu:
The Co-operative Principle:
Make your contribution such as is required, at the stage at which it occurs, by the accepted purpose or direction of the talk exchange in which you are engaged.
The Maxim of Quality:
Try to make your contribution one that is true. specifically: (1) do not say what you believe to be folse, (2) do not say for which you lack adequate evidence.
The Maxim of Quantity:
Make your contribution as informative as is required for the current purpose of echange, (2) donotmake your contribution more informative than is required.
The Maxim of Relevance:
Make your contribution relevant.
The Maxim of Manner
Be perspicuous, and specifically: (1) avoid bscurity, (2) avoid ambiguity, (3) be brief, dan (4) be orderly.
Pendek kata “maxim-maxim” itu tadi memberi petunjuk kepada orang-orang yang terlibat dalam suatu percakapan untuk berbicara secara efisien, efektif, dan penuh semangat kerja sama (tidak ada pihak-pihak yang ingin mendominasi satu sama lain). Agar dapat berbicara seperti yang diharapkan itu, masing-masing pihak harus berbicara dengan jujur, relevan, jelas, dan cukup memberikan informasi.
Walaupun keempat maxim Grice memberikan tuntunan untuk berbicara, itu tidak berarti bahwa prinsip-prinsip ini hanya berlaku pada komunikasi lisan. Bila kita perhatikan dengan seksama proses belajar mengajar mengarang, kita akan dapat melihat bahwa keempat maxim Grice itu dapat pula diterapkan pada keterampilan menulis yang merupakan aspek produktif dalam penggunaan bahasa ini.
Tiga maxim yang pertama, yaitu “the maxim of qualiy, the maxim of quantity, dan the maxim of relevance” erat hubungannya dengan masalah unity (keutuhan), suatu unsur yang sangat penting dalam hal tulis-menulis. Dengan kata lain, dalam tulisan yang mempunyai unity, penulis tidak akan menyajikn hal-hal yang menurut keyakinannya tidak benar, penulis tidak akan mau menulis tentang sesuatu yang dia sendiri tidak memiliki cukup banyak bukti. Sebaliknya, penulis suatu karangan yang utuh akan memberikan informasi secukupnya sesuai dengan tujuan percakapan, dan ia tidak akan memberikan informasi lebih dari yang diperlukan dengan cara menyisipkan bahan-bahan yang menyimpang dari topik.
Sekarang kita tahu bahwa prinsip kesederhanaan senada dengan maxim of quantity yang telah diusulkan oleh Grice itu, dalam arti menjadikan sumbangan pikiran penulis cukup informasi yang diperlukan untuk tujuan percakapan. Prinsip kesederhanaan dalam dunia tulis-menulis itu juga diperkuat oleh maxim of relevance dan maxim manner.
Prinsip lain dalam gaya bahasa yang berkaiitan erat dengan maxim Grice ialah adanya prinsip ekonomi. tulisan yang efektif itu pada hakekatnya ekonomis, maksudnya, penulisan yang ekonomis itu tidak akan menggunakan lebih dari yang diperlukan sesuai dengan pokok bahasa dan peristiwanya. D isamping itu, kita harus ingat bahwa tulisan yang padat dan langsung merupakan kualitas yang positif untuk memperoleh tulisan yang jelas, sebab terlampau banyak pengunaan kata-kata mungkin akan membosankan.
Agar dapat memperoleh tulisan yang ekonomis, penulis haruslah menghindari keborosan pemakaian kata-kata, maksudnya, ia tidak seharusnya menggunakan banyak kata, jika seandainya dengann beberapa patah kata saja sudah cukup tanpa mengubah makna yang dimaksud.
Selain dengan menghindari keborosan pemakaian kata-kata, seorang penulis tidak seharusnya pula menambah-nambahi rincian masalah yang tidak diperlukan.
Baca: Peranan Analisis Wacana dalam Proses Belajar Bahasa
Sementara itu, teori Grice tentang “impicature” sebagai bagian dari pragmatic itu dewasa ini sedang mendapat perhatian perhatian dalam decade terakhir ini. Teori ini, yang merupakan perkembangan dala teori linguistik yang sekarang ini sedang berlaku, ternyata sangat berguna bagi para guru bahasa asing, terutama dalam hal belajar dan mengajar menulis dan berbicara.Dengan lain perkataan, teori ini mampu memberikan sumbangan untuk memperaiki mutu pengajaraan dalam aspek kebahasaan produktif. Dengan demikian pentinglah bagi para guru bahasa mengikuti perkembangan yang terjadi dalam dunia linguistik.
Referensi
Wahab, Abdul. (1991). Isu linguistik pengajaran bahasa dan sasra. Surabaya: Airlangga.