Selama era metode berbagai metode dan teknik pengajaran bahasa berkembag pesat karena para peneliti berjuang mencari bukti untuk kehebatan metode tertentu. Mereka berupaya keras merumuskan teori dan melakukan penelitian untuk membuktikan bahwa teorinya paling benar Kegagalan membuktikan keefektifan metode tertentu telah memicu pengembangan metode lainnya, begitu seterusnya (Suwarsih, 2013: 29). Masing-masing akan diuraikan sebagai berikut:
1. Metode Audiolingual
Dari kajian pustaka, Stern (1983: 463) menemukan metode audiolingual, yang berjatidiri asli amerika, telah muncul dengan beberapa nama: aurai-oral atau metode aural-oral (pada tahun limapuluhan), audiolingual method atau metode audiolingual (diusulkan oleh Brooks pada tahun 1964), new key method atau metode kunci baru (juga usulan Brooks), audiolingual habit theory atau teori kebiasaan audiolingual (disusun oleh Carrol pada tahun 1966). Menurut Celce-Murcia (2001: 7), sebagai reaksi terhadap metode membaca dan kekurangannya dalam keterampilan lisan-dengar, metode audiolingual diturunkan dari gerakan pembaharuan dan metode langsung tetapi ditambah fitur-fitur dari linguistik struktural Bloomfield (1933) dan psikologi behavior Skinner (1957).
Di bawah ini disajikan butir-butir penting dari metode audiolingual yang bersumber pada Brown (2000: 96), Celce-Murcia (2001: 7), dan Stern (1983: 464):
a. Pemisahan dan pengurutan empat keterampilan bahasa (mengdengarkan, berbicara, membaca, menulis) dengan tekanan pada keterampilan mendasar yaitu mendengarkan dan berbicara, sedangkan membaca dan menulis ditunda.
b. Penggunaan dialog sebagai alat utama untuk menyajikan bahan ajar baru bahasasasaran.
c. Tekanan pada teknik praktik tertentu, menirukan, menghafalkan, dril pola berdasarkan asumsi bahwa belajar bahasa adalah pembentukan kebiasaan.
d. Pengajaran induktif aturan-aturan tatabahasa dan pengaturan struktur tatabahasa dengan cara analisis kontrastif yang diajarkan satu-satu sedikit sekali, bahkan tidak ada penjelasan tentang tatabahasa.
e. Tekanan pada lafal dari awal sekali.
f. Pembatasan ketat untuk kosakata pada tahap awal dan penggunaan konteks untuk mengenalkannya.
g. Upaya dibuat untuk mencegah kesalahan oleh siswa atau untuk memastikan siswa memproduksi ujaran-ujaran bahasa sasaran tanpa kesalahan.Memanipulasi bahasa tanpa memerhatikan makna dan konteks.
h. Tuntunan atas kemahiran berbahasa sasaran lisan mendekati penutur asli.
i. Respon-respon yang benar segera dikuatkan.
j. Banyak digunakan pita, lab bahasa, dan alat bantu visual.
Krashen (2009: 129) menyatakan bahwa ada fitur-fitur umum audio-lingual pengajaran bahasa. Sekali lagi, mungkin ada variasi substansial dalam praktek. Pelajaran biasanya dimulai dengan dialog, yang berisi struktur dan kosakata pelajaran. siswa diharapkan untuk meniru dialog dan akhirnya menghafalkannya (disebut “mim-mem”). Seringkali, kelas praktek dialog sebagai kelompok, dan kemudian dalam kelompok kecil. Dialog tersebut diikuti oleh drill pola pada struktur yang diperkenalkan dalam dialog. Tujuan dari pelatihan itu adalah untuk “memperkuat kebiasaan”, untuk membuat pola “otomatis”.
Krashen mengutip pendapat Lado (1964) mencatat bahwa latihan pola audio lingual memfokuskan perhatian siswa pada struktur yang baru. Misalnya, siswa mungkin berpikir dia belajar kosa kata dalam latihan seperti:
That’s a __________. (key, knife, pencil, etc.) (as in Lado and Fries, 1958)
Namun pada kenyataannya, menurut teori audio lingual, siswa membuat pola otomatis.
2. Metode audiovisual
Metode audiovisual dikembangkan di Perancis pada tahun limapuluhan. Ia menggunakan scenario yang disajikan secara visual sebagai alat utama untuk melibatkan siswa dalam ujaran-ujaran dan konteks yang bermakna. rekaman suara menyediakan dialog bergaya dan komentar naratif dan suatu ujaran diiringi dengan filmstrip. Dengan kata lain, citra visual dan ujaran lisan saling melengkapiu dan secara bersama-sama membentuk satuan semantic. Metode ini digunakan dalam kursus pelajaran bahasa Perancis yang ditujukan bagi sasaran yang berbeda-pemula dewasa dan anak-anak. Metode ini selanjutnya digunakan di Amerika, Britania raya, dan Kanada. Seperti metode audiolingual, metode auvisual juga cocok untuk pemula (Stern, 1983: 466).
3. Metode Lisan-situasional
Menurut Celce-Murcia (2001: 7), metode lisan-situasional dikembangkan sebagai sebagai reaksi terhadap metode membaca dengan kekurangannya untuk menekankan keterampilan lisan-dengar, metode ini dominan di Britania Raya dari tahun 1940-an sampai 1960-an. Ia diturunkan dari gerakan pembaharuan dan metode langsung tetapi menambahkan fitur-fitur linguistic Firthian dan bidang pedagogi bahasa yang sedang muncul. berikut ini fitur-fitur utama metode ini:
a. Bahasa lisan adalah utama.
b. Semua bahan bahasa dipraktikan secara lisan sebelum disajikan dalam bentuk tertulis, membaca dan menulis diajarkan hanya setelah dasar lisan dalam bentuk leksikal dan tatabahasa terbentuk mantab.
c. Hanya bahasa sasaran yang harus digunakan di kelas.
d. Upaya dilakukan untuk menjamin bahwa butir-butir leksikal yang paling umum dan paling bermanfaat yang disajikan.
e. Struktur-struktur tatabahasa digradasi dari sederhana ke kompleks.
f. Butir-butir baru leksikal dan tatabahasa dikenalkan dan dipraktikan secara situasional (misalnya, di kantor pos, di bank, dan di meja makan).
4. Metode kognitif
Metode kognitif mencari dasar-dasarnya dalam psikologi kognitif dan tatabahasa transformasional. Metode ini menyerminkan orientasi teoritis dalam linguistik dan psikologinguistik yang diprakarsai oleh Chomsky pada tahun enampuluhan. Diller (1978) dan Stern (1983) menyatakan bahwa metode ini memberikan tekanan pada pemerolehan dasar atas bahasa sebagai system bermakna dan mendasarkan diri pada prinsip-prinsip psikologi kognitif dan tatabahasa transformasional.
5. Metode humanistik-afektif
Kelompok metode humanistic-afektif dikembangkan sebagai reaksi terhadap kekurangan umum atas pertimbangan afektif baik dalam metode audio lingual maupun metode kognitif. Metode-metode ini memiliki fitur-fitur berikut: (Celce-Murcia, 2001: 7):
a. Hormat ditekankan pada individu (setiap siswa, juga guru) dan peran perasaan mereka.
b. Komunikasi yang bermakna bagi siswa ditekankan.
c. Pengajaran melibatkan banyak kerja pasangan dan kelompok kecil.
d. Iklim kelas dipandang lebih penting daripada metode.
e. Dukungan dan interaksi sejawat dipandang sebagai kebutuhan dalam sendiri.
f. Belajar bahasa asing dipandang sebagai pengalaman yang diwujudkan sendiri.
g. Guru adalah konselor atau fasilitator.
h. Guru hendaknya mahir dalam bahasa sasaran dan dalam bahasa ibu siswa mengingat penerjemahan mungkin banyak digunakan pada tahap awal utuk membantu siswa merasa nyaman, kemudian secara bertahap dihilangkan.
6. Metode berbasis pemahaman
Metode berbasis pemahaman didasarkan pada asumsi bahwa (a) pemerolehan bahasa terjadi jika dan hanya jika siswa memahami asupan bermakna, dan (b) pemerolehan bahasa kedua atau asing mirip dengan pemerolehan bahasa ibu. Asumsi-asumsi diturunkan dari hasil study penelitian dalam pemerolehan bahasa ibu (Celce-Murcia, 2001: 8, menyitir, misalnya, Postovsky, 1974; Winitz, 1981; Krashen dan Terrell, 1983).
Baca: Pengertian Penguasaan Bahasa Kedua
7. Metode berbasis pemahaman
Metode berbasis pemahaman didasarkan pada asumsi bahwa (a) pemerolehan bahasa terjadi jika dan hanya jika siswa memahami asupan makna, dan (b) pemerolehan bahasa kedua atau asing mirip dengan pemerolehan bahasa ibu. Asumsi-asumsi diturunkan dari hasil study penelitian dalampemerolehan bahasa ibu (Celle-Murcia, 2001: 8, menyitir misalnya, Postovsky, 1974; Winitz, 1981; Khrasen dan Terrell, 1983).
8. Metode PPP dan Tiga Alternatifnya
a. Metode PPP
Metode PPP merupakan variasi dari audiolingualisme dalam pengajaran bahasa Inggris Raya dan tempat lain (Harmer, 2007: 66). PPP sebagai kepanjangan dari presentasi, praktik, dan produksi mewakili tiga tahapan pemelajaran. Pengajarannya berjalan seperti berikut. Pada tahapan presentasi, guru mengenalkan situasi yang mengontekstualisasi bahasa yang akan diajarkan, dan kemudian menyajikan bahasa yang diajarkan. Ini diikututi tahap kedua, yang di dalamnya siswa mempraktikan bahasa dengan teknik reproduksi akureat seperti peniruan bahasa untuk kata, frasa, atau kalimat (dengan guru pemimpin dan siswa menirukannya), pengulangan perorangan atas kata, frasa, atau kalimat (dengan guru memberi contoh dan siswa menirukannya), dan dril pancingan-respon. Drilnya mirip yang digunakan dalam metode audiolingual. Akan tetapi, kontekstualisasi dril melalui situasi, lebih melengkapi dril dengan makna dari pada sekedar dril suptitusi. Akhirnya, yaitu dalam tahapan produksi, siswa membuat kalimat mereka sendiri dengan menggunakan bahasa yang baru.
b. Alternatif PPP
Tiga alternative lainnya (Harmer, 2001: 2007: 66-67) telah ditawarkan lebih lanjut: (1) ARC, (2) OHE or III, and (3) ESA. Masing-masing diuraikan secara singkat.
a). ARC atau OTK
ARC adalah kepanjangan dari Autentic use (penggunaan otentik). Restricted use (penggunaan terbatas) dan Clarification and focus (klarifikasi dan fokus), yang diusulkan oleh Jim Asher (1994, seperti dikutip oleh Harmer, 2001; 83). Penggunaan otentik (O) merujuk pada bahasa bahasa yang digunakan dalam kegiatan komunikasi sedangkan R/T (Restricted/terbatas) pada penggunaan bahasa dalam dril, jazz chant, dialog yang diciptakan atau menulis terbimbing, misalnya, dan C/K (Clarification/klarifikasi) pada bahasa yang digunakan untuk menjelaskan tatabahasa, memberi contoh, menganalisis kesalahan, memancing atau mengulangi sesuatu. Urutan O-T-K boleh berubah menjadi K-T-O (PPP lama) atau bahkan K-O-K-O-K-T sebagai pelajaran berbasis tugas. Jadi guru dapat memutuskan urutan tahap-tahap untuk memenuhi kebutuhan belajar siswa.
b). OHE
OHE adalah kepanjangan dari Observe (Observasi), Hypothesis(Hipotesis), dan Experiment (Eksperiment). Menurut Lewis (dalam Harmer, 2007: 83), siswa hendaknya dibolehkan untuk melakukan observasi (membaca atau mendengarkan bahasa). Observasi ini kemudian akan memprovokasi siswa untuk hipotesis tentang bagaiamana bahasa beroprasi. Kemudian mereka akan melakukan eksperimen berdasarkan hipotesis itu. Prosedur ini mirip dengan prosedur III yang diusulkan oleh Mccarthy dan Canter seperti disitir Harmer (2001). III adalah kepanjangan dari ilustrasi, interaksi, dan induksi. Pada tahap ilustrasi, guru menunjukan kepada siswa contoh-contoh bahasa seperti transkip percakapan kemudian pada tahap interaksi guru melibatkan siswa dalam kegiatan penemuan dan pertanyaan-pertanyaan tentang bahasa sasaran, contohnya “bagaimana kamu akan menuliskan ulangan bahasa lisan formal ini?” pada tahap interaksi siswa memerhatikan, yaitu siswa menangkap fakta-fakta baru tentang bahasa sehingga terjadi induksi.
c). ESA (LPA)
ESA adalah kepanjangan dari engangge atau libatkan study atau pelajari, dan activate atau aktifkan, yang selanjutnya disingkat LPA. Selama proses belajar mengajar kegiatan dapat digolongkan menjadi tiga: libatkan siswa secara emosional dalam apa yang berlangsung, pelajari bagaimana sesuatu disusun (Klausa, pola intonasi, paragraph atau teks, frasa leksikal). Dan aktifkan siswa untuk menggunakan semua dan/atau bahasa apapun yang mereka ketahui. Tiga komponen ini dapat bervariasi panjangnya lima, dua puluh, lima puluh atau bahkan seratus menit. Guru dapat mengubah menjadi LAP, PAL, atau membuat prosedur lebih lama, misalnya LAPALPALAL, tergantung pada kebutuhan belajar siswa namun perlu diingat bahwa jika prosesnya terlalu panjang hendaknya dilakukan sesuatu yang dapat membuat siswa relax, misalnya menyanyi atau menikmati lelucon tetapi tetap dengan isi yang relevan.
Referensi
- Stephen D Krashen. (2009). Principles and Practice in Second Language Acquisition. California: Pergamon Press Inc.
- Suwarsih Madya, (2013), Metodologi pengajaran bahasa; dari era prametode sampai era pascametode. Yogyakarta: UNY Press.