Dampak Negatif Bahasa yang Tidak Dipertahankan, Salah Satunya Kehilangan Pamor

Posted on

Membicarakan tentang mempertahankan bahasa seakan menjadi hal yang tabu sekarang ini. 

Ditengah pesatnya perkembangan teknologi khususnya ICT (information and communication technology) menjadi bahasa lokal mendapatkan tempat kedua. 

Katakan saja “instagram” dan rententan kosa kata turunanya dari sosial media ini seperti “hastag, tag, engle, caption” dan lain sebagainya seakan lebih familiar dari kosa kata sepadan di Bahasa Indonesia. Bahkan bukan bisa saja pengguna bahasa Indonesia tidak tahu apa bahasa Indonesia.

Bahasa asing khususnya bahasa Inggris yang terbalut dalam teknologi membawa dua sumber kosa kata baru yaitu nama produk dan istilah. 

Nama produk berarti kosa kata baru dari produk – produk tertentu yang bisa saja belum tersimpan dalam kamus monolingual seperti Oxford dan Cambridge. 

Nama istilah disini adalah kosa kata – kosa kata yang turunan yang digunakan pada produk tersebut. 

Istilah ini bisa saja sudah punya padanan dalam KBBI atau memang sudah diserap dalam buku padanan istilah dan ungkapan asing. Akan tetapi tetap saja, kata asingnya yang lebih familiar.

Mengkaca dari latar fakta diatas, maka sekan menjadi hal tabu adanya upaya pemertahanan bahasa. 

Walau sebenarnya sudah sangat banyak upaya dan penelitian terkait pemetahanan bahasa (language maintenance). 

Bahkan ada kutipan “sudah ngikut saja” yang seakan menunjuk pengguna bahasa lokal untuk pasrah. Memang betul adanya bahwa dominasi bahasa Inggris sebagai lingua franca tak terelakan hingga saat ini.

Faktanya adalah pengguna bahasa dalam arti orang Indonesia sudah semakin asing dengan kota katanya sendiri. 

Bahkan dapat dikatakan orang Indonesia tidak nyaman menggunakan bahasanya. Istilah dan ungkapan asing justru terdegar lebih luwes meskipun pengejaanya tidak sesuai dengan pengucapan aslinya. 

Bahkan tidak sedikit yang mengatakan bahwa justru isitlah asing akan memperkaya kosa kata bahasa Indonesia.

Bagaikan mata pisau, memang masuknya istilah asing akan berdampak positif maupun negatif. Akan tetapi coba dilihat lebih dalam apa urgensi pemertahanan bahasa?

Bagaimana jika bahasa tidak dipertahankan. Maka berikut ini dampak negatif jika tidak ada pemertahanan bahasa.

1. Bergersernya kosa kata Indonesia

Penggunaan kosa kata asing secara tidak sadar akan menggeser bahkan menggantikan kosa kata bahasa Indonesia. 

Pengguna bahasa cenderung tidak tahu padanan suatu kosa kata asing baik sebenarnya sudah ada atau memang sudah ada kata resapanya baik dalam buku Pengindonesiaan Istilah asing maupun KBBI.

Kata ‘online’ lebih familiar dari pada kata ‘daring’. Padahal daring merupakan kesepadanan dari kata online. 

Begitu juga kata ‘tagar, swafoto, nara blog, tandai’ yang merupakan kesepadanan dari kata ‘hastag, selfie, blogger, dan tag’.

2. Perubahan struktur gramatikal

Kosa kata terutama yang lebih dari satu kata membuat pengguna bingung menyusun kata. 

Susunan gramatikal D M (diterangkan menerangkan) seakan sama dengan (menerangkan diterangkan). Manakah yang benar? media sosial atau sosial media?, Nara salon atau Salon Nara?

3. Hilangnya pamor

Penggunaan bahasa Indonesia sekan tidak mampu mewakili rasa dan nilai yang ada bahasa asing. Mungkin secara akurasi arti bisa tersampaikan, tetapi bagaimana dengan keterbacaanya. 

Kesepadanan kata asing dalam bahasa Indonesia dianggap kurang memiliki nilai keterbacaan yang baik, akhirnya pengguna lebih condong menggunakan bahasa sumbernya (meminjam). 

Pada akhirnya kosa – kata bahasa Indonesia tersebut ditinggalkan dan enggan untuk digunakan, bahkan orang yang menggunakanya terkesan orang yang kaku, sehingga lambat laun pamor bahas Indonesia menjadi hilang

4. Tidak terbacanya skrip kuno

Nusantara merupakan negeri yang mansyur, banyak sekali warisan budaya baik berupa karya sastra, ilmu pengetahuan, dan budaya yang tertulis dalam skrip – skrip kuno. 

Penggunaan aksara latin telah mengeser aksara Jawa dan lain sebagainya, alhasil generasi sekarang sudah tidak mampu lagi membaca teks – teks bahasa lokal termasuk Jawa. 

Hal ini sama halnya para generasi sekarang sudah meninggalkan berbagai tatanan sosial, budaya, dan ilmu pengetahuan nenek moyangnya dalam arti budaya timur. 

Padahal beluam tentu, apa – apa yang diekspor dari barat lebih baik dari budaya timur. 

Apabila, generasi penerus mampu mengilhami apa yang telah diajarkan oleh nenek moyangnya, bahkan sudah terbukti menjadi negeri yang mansyur, bisa saja peradaban timur akan kembali maju. 

Sayangnya teks tersebut sudah tidak terbaca lagi dan tidak bisa lagi jadi tuntunan.

Sebenarnya masih ada banyak lagi dampak dari tidak adanya pemertahanan bahasa. 

Secara objektif kita telah mengalami banyak kerugian karena sudah tergerus arus globalisasi. 

Akan lebih bijak apabila dapat memadukan antara keduanya, seperti halnya di Asia Timur seperti Jepang. 

Sekalipun mengimpor ilmu pengetahuan modern, budaya lokal tetap dipertahankan, bahkan dikawinkan sehingga menjadi negara yang maju tetap syarat akan kulturnya yang lekat.

Hal ini karena, sebelum masuk ke Jepang bahasa asing sudah diterjemahakan dulu, baru dipelajari oleh warganya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *