Aliran linguistik tradisional atau yang dikenal dengan nama lain yaitu aliran fungsional yang sekumpul penjelasan dan aturan gramatikalnya telah dipakai lebih kurang 200 tahun lalu. Istilah tradisional di dalam ilmu bahasa atau linguistik sering dipertentangkan dengan istilah struktural. Aliran tradisional menganalisis bahasa berdasarkan filsafat dan semantik. Sementara aliran struktural menganalisis bahasa berdasarkan struktur dan cirri-ciri formal yang ada di dalam bahasa. Aliran tradisional ini juga berdasar pemikiran secara filosofis.
Dimana dari latar belakang sejarahnya kita sudah mengetahui bahwa munculnya teori ini bermula dari Plato dan murindnya yang bernama Aristoteles yang dikenal sebagai filosof-filosof besar bangsa Yunani, walaupun sebenarnya aliran tradisional yang sebenarnya baru berkembang setelah zaman Yunani berlaku. Adapun ciri-ciri aliran tradisional yang dikemukan oleh Soeparno (2003: 36) yakni sebagai berikut:
1. Bertolak dari pola berpikir secara filosofi
Tidak dapat dipungkiri bahwa, filosofi tidak lepas dari perkembangan suatu ilmu termasuk linguistik. Pemikiran para filsuf akan bahasa menjadi landasan awal lahirnya aliran linguistik tradisional.
2. Tidak membedakan bahasa dan tulisan
Aliran ini mencampurkan pengertian bahasa (dalam arti yang sebenarnya) dan tulisan (perwujudan bahasa dengan media huruf). Dengan demikian secara otomatis juga mencampuradukan pengertian bunyi dan huruf. Sebagai bukti sebagaimana seorang ahli bahasa mencampuradukan pengertian bunyi/fonem dan huruf, dapat dibaca pada kutipan berikut ini ”Antara vocal-vokal itu huruf a adalah yang membentuk lubang mulut yang besar, I yang kecil, e biasanya terbentuk di dalam mulut sebelah muka, dan o di belakang sebelah ke dalam” (Mess, 1950: 35). Setelah membaca kutipan itu, kita dapat menilai bahwa ada sesuatu yang tidak masuk akal, yakni “huruf a yang membentuk lubang mulut”. Menurut logika tidak ada huruf yang berurusan dengan mulut. Biasanya huruf berurusan dengan pensil, pena, kapur, spidol, papan tulis, dan barang-barang lain yang berkaitan dengan produksi huruf.
Pengertian yang kacau balau tersebut merupakan akibat kebiasaan orang-orang Romawi yang mendewa-dewakan bahasa tulis, dan juga karena terpacu oleh pesatnya “teknologi Guttenburg”
3. Senang bermain dengan definisi
Ciri ini merupakan pengaruh dari cara berpikir secara deduktif. Semua istilah didefinisikan baru kemudian diberi contoh ala kadarnya.Aliran ini tidak perna menyajikan kenyataan-kenyataan bahasa yang kemudian dianalisis dan kemudian disimpulkan. Yang paling utama adalah memahami istilah dengan menghafal definisi yang dirumuskan secara filosofis.
4. Pemakain bahasa berakibat pada pola/kaidah
Ketaatan pada pola ini diwarisi sejak para ahli tata bahasa tradisional mengambil alih pola-pola bahasa Latin untuk diterapkan pada bahasa sendiri. Kaidah bahasa yang telah mereka susun dalam bentuk buku tata bahasa harus benar-benar ditaati oleh pemakai bahasa. Setiap pelanggaran kaidah dinyatakan sebagai bahasa yang salah dan tercelah.
Tata bahasa yang mereka pakai itu biasanya disebut tata bahasa preskriptif, yaitu tata bahasa yang cenderung menghakimi benar salah pemakai bahasa. Hal ini sangat ditantang oleh para penganut tata bahasa pragmatic, yakni tata bahasa yang orientasinya pada masyarakat. Tata bahasa pragmatic dan pengajaran pragmatic ini sekarang sudah memperoleh perhatian.
5. Level-level gramatikal belum rapi
Level gramatikal yang terendah menurut teori ini adalah huruf. Level (tataran) di aas huruf adalah kata. Sedangkan level yang tertinggi berupa kalimat. Dengan demikian hanya tiga macam level itu sajalah yang secra pasti ditegakan. Tataran morfem, frasa, dan klausa belum begitu digarap, apalagi tataran wacana. Menurut aliran ini, kata didefinisikan sebagai kumpulan dari huruf yang mengandung arti, sedangkan kalimat didefinisikan sebagai kumpulan dari kata yang mengandung pengertian lengkap.
6. Permasalahan tata bahasa masih banyakdidominasi oleh permasalahan jenis kata (part of part)
Beberapa tokoh aliran bahasa tradisional tersebut antara lain Sandroort, C.A Mees, van Ophuysen, R. O Winstedt, St. M. Zain, St. Takdir Alisyahbana, Madong Lubis, Poedjawijatna, Tardjan Hadidjaja, dan sebagainya.
Baca: Teori/ Aliran Linguistik Tagmetik
Referensi
Soeparno. (2003). Dasa-dasar linguistik. Yogyakarta: Mitra Gama Widya.