Akhir – akhir ini fenomena bahasa menjadi perhatian publik, tepatnya sejak awal September 2018. Mencuatnya premis Bahasa “Anak Jaksel” banyak menjadi perbincangan netizen. Pasalnya ada ciutan – ciutan yang disinyalir dari para pemilik akun twitter dari Jakarta Selatan yang menggunakan bahasa campuran.
Sumber: suara.com |
Fenomena penggunaan campuran dua bahasa atau lebih semacam ini sebenarnya bukan merupakan hal baru. Fenomena ini dianamakan campur kode (code mixing) dalam kacamata sosilinguistik. Campur kode artinya penggunaan suatu bahasa dengan menambahkan bahasa lain dalam suatu ujaran maupun tulisan.
Akun – akun tersebut kerap menggunakan kata seperti “which is, which, behind, confuse, probably“. Bahkan juga muncul dalam frasa seperti “officially truly honestly, international school”, hingga klausa seperti “frasa earning less than 1 million per month, we make it official like literally, don’t like it“. Lalu dalam penggunaan kata, frasa, dan kluasa yang meminjam dari Bahasa Inggris tersebut ada tiga macam yaitu (1). Digunakan satu dengan utuh (menjadi satu kalimat) (2). Digunakan dengan menjadi bagian dari suatu kalimat, dan (3). Menjadi kata dasar dari suatu kata dengan mendapatkan imbuhan baik awalan, akhiran maupun awalan dan akhiran.
Faktor yang menyebabkan bahasa “Anak Jaksel”
Bahasa “Anak Jaksel” sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai bahasa, akan tetapi masih pada tataran bahasa yang sama yakni bahasa Indonesia. Sedangkan istilah Bahasa “Anak Jaksel” hanyalah repersentasi untuk menggambarkan fenomena campur kode yang wujudkan dalam tagar #AnakJaksel.
Campur kode dapat dikatakan sebagai suatu fenomena yang tak terhindarkan. Hal ini karena memang sebagian besar masyarkat Indonesia setidaknya memiliki dua bahasa atau lebih yang disebut dengan bilingulisme. Kedwibahasaan ini sudah terjadi antara Bahasa daerah dangan Bahasa Belanda, Bahasa Indonesia dengan bahasa daerah, dan menjadi perbincangan hari ini adalah Bahasa Indoensia dengan Bahasa Inggris.
Kenapa bahasa Inggris? Bahasa Inggris berupakan lingua fraca dunia yang banyak dihadirkan di dunia pendidikan, hiburan, periklanan, hukum, kesehatan, bahkan dapat dikatakan hampir semua bidang melekat Bahasa Inggris dan tentunya salah satu yang cepat hari ini adalah didunia teknologi informasi.
Kehadiran internet, media sosial, situs, dan smarphone yang banyak disajikan dalam bahasa Inggris baik sebagian atau keseluruhan tentu akan mempengaruhi kosa kata penggunanya. Fenomena yang terjadi adalah pada media sosial. Secara jelas bahwa media sosial yang masuk ke Indonesia sangat berbau bahasa Inggris. Bahkan secara tidak sadar pengguna tidak tahu apakah bahasa yang digunakan tersebut adalah bahasa Inggris atau bahasa Indoensia. Misalkan saja kata “download, upload, hastag, tag, blogger,” dan lain sebagainya dari pada menggunakan kata “unduh, unggah, tagar, tandai, nara blog” dan lain sebagainya padahal padanan dari kata – kata tersebut sudah ada dalam Kamus Bahasa Besar Bahasa Indonesia maupun buku Pengindonesiaan Istilah dan Ungkapan asing.
Akan tetapi memang derasnya kosa kata asing tersebut jauh lebih cepat daripada penyerapanya atau padananya dalam Bahasa Indoensia. Hal ini lebih diperparah lagi dengan penggunaan campur kode bahasa “anak jaksel” yang jelas – jelas sudah ada padananya tetapi tetap menggunakan bahasa asing.
Sehingga dapat disimpulkan fenomena campur kode bahasa Anak Jaksel ini lebih cenderung diakibatkan oleh fakor sikap (attittude). Sikap attitude sepeti apakah yang mengakibatkan meningkatnya penggunaan campur kode?
Cara menulis Bahasa Anak Jaksel
Campur kode sebenarnya adalah “peminjaman” bahasa, yakni engguna meminjam bahasa dengan menggunakan langsung (pure) maupun dengan melakukan adaptasi (naturalized) dari bahasa tertentu kedalam bahasa yang digunakan. Dalam hal ini, netizen meminjam Bahasa Inggris lalu menggunakanya dalam bahasa Indonesia.
Oleh sebab itu untuk tetap mengapresiasi Bahasa Indoensia, maka pengguna lebih baik tidak menggunakan istilah asing tersebut karena mengakibatkan tengelamnya bahasa Indoneia karena campur kode. Lalu apabila dimungkinkan kata – kata yang dipinjam tersebut ditulis dengan cetak miring sebagai tanda bahwa istilah tersebut adalah istilah asing.
Selain itu, upaya penggunaan bahasa Indoensia juga merupakan wujud pemertahanan bahasa, karena dampak negatif jika bahasa tidak dipertahankan juga tidak sedikit. Bukan hanya Bahasa Indonesia akan tersingkir dan terasing tetapi mengakibatkan pula tidak terbacanya skrip kuno, jatuhnya pamor bahasa Indoensia dan lain sebagainya.