Aliran yang dipelopori oleh N. Chomsky ini merupakan reaksi dari paham strukturalisme.
Konsep strukturalisme yang paling ditentang oleh aliran ini ialah konsep bahwa bahasa sebagai faktor kebiasaan (habit). A
dapun cirri-ciri aliran transformasional yang dikemukakan oleh Soeparno (2003: 41) secara lengkapnya adalah sebagai berikut:
1. Berdasarkan paham mentalistik
Aliran ini beranggapan bahwa proses berbahasa bukan sekedar proses rangsang-tanggap semata-mata, akan tetapi justru menonjol sebagai proses kejiawaan.
Proses berbahasa bukan sekedar proses fisik yang berupa bunyi sebagai hasil sumber getar yang diterima oleh alat auditoris, akan tetapi berupa proses kejiwaan di dalam diri peserta bicara.
Oleh karena itu, aliran linguistik ini sangat erat kaitannya dengan subdisiplin psikolinguistik.
2. Bahasa merupakan innate
Kaum trensformasi menertawakan anggapan kaum struktural bahwa bahasa merupakan faktor kebiasaan (habit).
Mereka beranggapan dengan penuh keyakinan bahwa bahasa merupakan faktor innate (warisan keturunan).
Apabila kaum struktural dapat memberikan bukti bahwa bahasa merupakan habit, maka kaum trasformasi pun menunjukan bahwa bahasa bukan habit.
Dalam kasus ini Chomsky perna minta bantuan seorang rekannya ahli bedah otak.
Berkat bantuan rekannya itu dapat dibuktikan bahwa struktur otak manusia dengan struktur otak simpanse persis sama, kecuali satu simpul syaraf yang ada pada struktur otak manusia tidak terdapat pada struktur otak simpanse.
Itulah sebabnya simpanse tidak dapat berbicara walaupun kadang-kadang ada simpanse yang keterampilan dan kecerdasannya mendekati/sama dengan manusia.
Walaupun dilatih dengan metode dril dan praktik seribu kali sehari tidak akan mungkin seekor simpanse dapat berbicara.
Sebab dapat atau tidaknya berbicara itu bukan adanya faktor latihan atau kebiasaan melainkan karena faktor warisan atau innate.
Menurut kenyataan dan memang telah dikodratkan bahwa simpanse memang tidak mempunyai innate itu. Jika tidak mungkin seekor simpanse dapat berbahasa.
3. Bahasa terdiri atas lapis dalam dan lapis permukaan
Teoritransformasional memisahkan bahasa atas dua lapis yakni lapis dalam (deep structure, struktur dalam, struktur batin) dan lapis permukaan (surface structure, struktur luar, struktur permukaan).
Lapis batin adalah tempat terjadinya proses berbahasa yang sesungguhnya/secara mentalistik, dan lapis permukaan adalah wujud lahiriah yang ditransformasikan dari lapis batin.
Aku tresno marang kowe, aku cinta padamu, I love you, dan wo ai ni merupakan empat struktur permukaan yang ditransformasikan dari satu struktur dalam.
4. Bahasa terdiri atas unsur competent atau performance
Linguistic competent atau kemampuan linguistik adalah pengetahuan seseorang tentang bahasanya, termasuk juga di sini kemampuan seseorang untuk menguasai kaidah-kaidah yang berlaku bagi bahasanya.
Sedangkan linguistic performance atau performasi linguistik adalah keterampilan seseorang menggunakan bahasa. Kedua unsur tersebut sama-sama penting kedudukannya.
Yang satu tidak lebih penting dari yang lain. Namun kenyataannya ada orang yang kompetensinya baik akan tetapi performansinya tidak baik.
Sebaliknya ada pula orang yang kompetensi linguistiknya kurang baik akan tetapi performansinya ternyata cukup baik.
Yang paling ideal adalah kompetensi dan performansi kedua-duanya baik.
5. Analisis bahasa bertolak dari kalimat
Kaum transformasional beranggapan bahwa kalimat merupakan tataran gramatikal tertinggi.
Dari kalimat analisisnya turun kef rasa dan kemudian dari frasa turun ke kata.
Keistimewaan teori transformasional ini ialah tidak diakuinya eksistensi klausa.
Itulah sebabnya mengapa analisisnya dari kalimat langsung turun ke frasa, melalui klausa.
Pengingkaran terhadap keberadaan tataran klausa ini oleh aliran lain dianggap sebagai perlakuan yang semena-mena.
6. Bahasa bersifat kreatif
Ciri ini merupakan reaksi atas anggapan kaum struktural yang fanatic terhadap standar keumuman.
Bagi kaum transformasional masalah umum atau tidak umum bukan persoalan. Yang paling penting adalah kaidah.
Walaupun suatu bentuk bahasa tersebut belum umum asalkan pembentukannya sesuai dengan kaidah yang berlaku, maka tidak ada halangan untuk mengakuinya sebagai bentuk yang gramatikal.
Bentuk kata menggunung ‘menyerupai gunung’ pada konteks ‘sampah telah menggunung di tepi jalan’terbentuk oleh penggabungan bentuk dasar gunung dan prefix meN-.
Hal tersebut terjadi pula pada bentuk menganaksungai yang artinya ‘menyerupai anak sungai’ pada konteks ‘peluhan menganak sungai’. Dengan kaidah semacam itu, maka kita dapat membentuk konstruksi-konstruksi lain secara kreatif, misalnya:
Bajunya robek membibir ‘menyerupai bibir’
Pohon itu memayung ‘menyerupai payung’
Larinya mengejet ‘menyerupai jet’
Batu itu mengursi ‘menyerupai kursi’
Buah jeruk itu membola ‘menyerupai bola’
7. Membedakan kalimat ini dengan kalimat transformasi
Aliran ini membedakan dua macam kalimat yaitu kalimat inti dan kalimat transformasi.
Kalimat inti adalah kalimat yang belum dikenai kaidah transformasi, sedangkan kalimat transformasi adalah kalimat yang dikenai kaidah transformasi.
Adapun cirri-ciri kalimat inti itu ialah: a) lengkap, b) simple, c) statemen, d) aktif, e) positif, dan f) runtut.
Secara skematis dapat dikemukakan sebagai berikut:
Analisis diwujudkan dalam bentuk rumus dan diagram pohon di dalam buku tata bahasa dan buku pelajaran bahasa Indonesia kalimat inti diartikan sebagai kalimat yang terdiri atas dua kata, misalnya KB + KK, KB + KB, KB + KS, KB + KBil. Hal ini merupakan suatu kesalahan besar.
Kalimat “Hunter menangkap penyelundup itu” dapat dianalisis sebagai berikut:
a. Diagram pohon (tree diagram)
b. Rumus:
S → NP + VP
NP1 → N
NP2 → N + Det
VP → V + NP2
N → Hunter, penyelundup
V → Menangkap
Det → Itu
9. Gramatikanya bersifat generatif
Tata bahasa yang bertolak dari teori dinamakan tata bahasa generative transformasi (TGT).
Di dalam teori ini ada anggapan bahwa aturan gramatika memberikan mekanisme dalam otak yang membangkitkan kalimat-kalimat.
Dengan satu kaidah (atau dengan sedikit kaidah) kita dapat menghasilkan kalimat yang tidak terhingga banyaknya.
Teori transformasional ini pada garis besarnya terdiri atas dua generasi, yaitu generasi pertama dan generasi kedua.
Generasi pertama ini biasanya disebut generasi “Syntactic Structures”, sedangkan generasi ke dua biasanya disebut generasi “Aspects of The Theory of Syntax”.
Generasi pertama berangkat tahun monumental 1957 dan generasi kedua 1965.
Perbedaan prinsip kedua generasi itu ialah pada generasi pertama komponen semantik belum diintegratsikan, sedangkan pada generasi ke dua komponen semantik sudah diintegrasikan bersama dengan komponen sintaksis dan fonologi.
Referensi
Soeparno. (2003). Dasa-dasar linguistik. Yogyakarta: Mitra Gama Widya.